Ini sebelum pulang, sedikit berita ini.
Iya, beliau orang hebat.
Tapi mungkin anggapan karyawan SI berbeda seperti karena ini.
Tentu orang-orang minang juga akan mengingat perjuangan menyakitkan sekira satu dasawasa lalu terkait spin-off SP. Beliau, juga dinilai termasuk tokoh yang memperkeruh suasana. Entah, 10 tahun lalu saya masih SMA dan belum tau apa.
Tanggal Penting
Bulan April, saya memposting ini.
Hari pertama saya telat sejak mulai kerja disini pada September tahun sebelumnya.
Ini, hari ini juga jadi sebuah tanggal penting.
Pertama kalinya di bulan ini saya bisa datang nggak terlambat.
Yeahhh...
Bagaimana bisa saya, begini sih caranya.
Hari pertama saya telat sejak mulai kerja disini pada September tahun sebelumnya.
Ini, hari ini juga jadi sebuah tanggal penting.
Pertama kalinya di bulan ini saya bisa datang nggak terlambat.
Yeahhh...
Bagaimana bisa saya, begini sih caranya.
Jika aku kotak makan, bagaimana bisa kenyang, roti isi sebentar hilang.
Jika aku glue stick, bagaimana bisa lelap asik, jika materai tiap sebentar berisik.
Atau mungkin jika aku kabel data, aku akan gembira, iseng menghantam port yang menganga.
Tapi aku pena biru, ah, yang salah andai merah.
O tapi aku pena biru, yang kelam jikalau hitam.
Padang,
Pena Biru
Itu kira-kira puisi curhatan hati pena biru, setelah tragedi ceceran tinta biru di kantor yang menyebabkan dia mendapat cerca dari saya. Bikin kotor saya punya baju, bikin rusak saya punya dokumen, bikin bernoda saya punya laptop.
Saya bisa apa kepada si Pena Biru, sudah bikin masalah, puisi yang dibuatnya juga jelek begitu.
Minangkabau Jazz Night
Awalnya
adalah iklan di radio tentang akan adanya Minangkabau Jazz Night di UPI Hall
pada 25 Oktober lalu. “Kak sis,. Ada jatah karcis ndak? Mau dong kak..” saya coba
lobi kak siska yang di humas, berhubung perusahaan kami ada turut jadi sponsor.
“Tungguin aja rif, ini lagi pada diedarin ke ibu-ibu/istri staf sini, kalau
ntar ada sisanya, dikabarin deh, harga karcisnya rentang 50ribu sampai 300ribu.”
Lhaa.., kudu
beli ternyata, mahalpun.
Dua minggu sebelum berangkat, saya sudah
mulai-mulai denger lagu-lagu popular minang, persiapan laa… Biar pas datang
acaranya saya ndak mlongo mlongo aja. Biar nanti juga saya beli tiket jadinya
gak rugi. Iya, beli tiket ntar mahal-mahal, lagunya kagak apal.
Seminggu
sebelum acaranya, saya dapat rundown dan pengisi acara, ada Ellly kasim, the
legend, tapi kok, band-nya cuma satu Rynd band aja, tapi kok ada pakai host
pula, si arzeti bliblina.com he, tapi
kok ada fashion show nya juga. Jelas ini berbeda dengan konsep java jazz dan
nga jogjazz yang di jawa sana.
“Rif, ada
nih karcisnya, yang 200ribu.” Ntah karena kecewa dengan rundown, entah karena
akhir bulan, niat nonton jadi berkurang.
Besoknya pas
acara, sore, kak siska ngabarin lagi, “Rif jadinya gimana? Ini kebetulan aku
dapet satu yang dari panitia. Gratis tuh… Kalau iya, buru konfirm.” Karna si Rahmat juga ga jadi bisa pergi, karna hujan, karna capek siangnya keluar, karna malamnya juga akan ada pertandingan
arsenal saya, yang dilanjutkan el clasico Madrid saya, jadinya saya bilang
nggak. Ridho saya mah, iklas lillaahi taala.
Eh tapi, “kak
kalau ada yang jualin CD album dari bandnya, titip beli deh kak.” “Oke rif…” “Terima
kasih kakak.” Iya, dari penelusuran saya, si Rynd band ini juga bikin album yang
merecycle lagu-lagu minang popular. Dengan konsep acara seperti itu, pastilah
juga dijadikan momen untk jualan. Kalau di Jakarta, berhubung rynd ini markasnya di sana, cd album mereka pada dijualin di ruah makan-rumah makan sana.
Sebelumnya,
dari soundcloud, memang saya akui lagu-lagunya itu bagus. Aransemennya bisa
mengajak orang yang nggak terlalu suka kagu tradisional sebelumnya, untuk
kemudian suka.
Lagu-lagu
yang dibawakan rynd band ini ada beberapa yang sudah saya kenal dan menjadi
bagus ketika dibawakan, ada yang saya nggak tau, padahal menurut cerita itu
lagu pada zamannya sangat popular. Secara keseluruhan, saya puas dengan 2
volume CD album minang jazz dari rynd band tersebut.
Aransmen musiknya bagus,
kualitas recordingnya juga sangat bersih, meskipun direkam di studio mereka
sendiri. Perpaduan instrument jazz dengan alunan alat music tradisional minang
seperti saluang itu gimana ya, blended, nyatu, nggak tumpang tindih dan jauh
dari kesan dipaksakan untuk digabung. Di Jawa, sudah ada Bossanova yang
membawakan lagu-lagu jawa dengan kualitas serupa.
Palingan
sih, sedikit saya ada kecewa dengan lagu Bareh Solok. Ekspektasi saya lagunya
itu akan dibawakan nge-beat, yang memang cocok dengan lagunya seperti lagu
Bugih Lamo. Tetapi ini dibawakan dengan lantunan music rendah dan pelan.
Antiklimaks untuk bareh soloknya.
Tapi
biarlah, 95ribu, 2 cd album, music bagus, cukup memuaskan, apalagi diputer saat
jalan pulang kampung kayak wiken kemarin.
Luak (2)
Ada
juga sih Luak yang tidak dikhususkan untuk gender tertentu, tapi hanya
ditujukan untuk mencuci, karena agak terbuka tempatnya. Ada juga mungkin
beberapa orang yang disebabkan Luaknya penuh, dan buru-buru, tetap nekat mandi
disana. Hal-hal seperti itu risikonya ya tanggung sendiri.
Di dekat
masing-masing luak, dibuatkan sebuah gubuk atau semacam ruangan, seukuran surau
kecil, bisa untuk salin pakaian, bisa untuk solat, bisa untuk nggosip sambil
nunggu antrian mandi.
Sampai
awal dekade 2000an, mandi di Luak itu masih hal yang wajar, dan seru. Antara
jam 7-9 pagi itu, rame bener yang mandi, kadang-kadang ketemu ular sebagai
selingan L.
Sorenya selepas ashar, Luaknya rame lagi.
Sekarang
hampir semua rumah sudah berkamar mandi. Hampir semua rumah ber jet-pump.
Hampir semua rumah telah disentuh oleh PDAM. Sehingga warga yang mandi ke Luak
ini tidak lagi seberapa dan untuk kondisi-kondisi tertentu saja.
Kalau
kita beregois untuk menyayangkan berkurangnya tradisi unik seperti itu, sayang
sama saudara-saudara kita yang disana. Apa Tuan sanggup tiap hari jalan beratus
meter untuk mandi, pulangnya harus mendaki sekitar 50an anak tangga, jalan lagi
ke rumah. Nyampe rumah keringetan lagi. Atau pas habis dari Luak sudah langsung
berganti sama baju sekolah, tau-tau di jalan pulang itu tetiba hujan deras.
Apa
nyonya sanggup, bawa beban cucian yang kalau berangkat sih iya, menurun, ringan
pula. Tapi pas pulangnya, bawa cucian yang sudah basah, bertambah berat oleh
air yang masih lekat di kain, mendaki pula puluhan anak tangga untuk pulang?
Sanggup? sanggup? Belum lagi kalau bawa anak yang masih kecil dan rewel, kalau
tak sabar-sabar, bisa saja gelap mata dan tendang itu anak ke jurang bawah
sana. Hahaha.
Tapi
mungkin juga itu yang membuat dulu warga Sungayang tangguh dan kompak, kalau
generasi sekarang gimana ya?
Untuk
saya pribadi pun, ada juga bagusnya rumah-rumah di Sungayang sekarang ini sudah
berkamar mandi. Lebih private iya, meski sebagai orang yang malas mandi, ada
alasan saya yang lain yang lebih penting dari itu: bagaimana mungkin kita harus
mandi dengan sumber mata air langsung yang sangat dingin itu? Bukankah bunuh
diri adalah sebuah tindakan yang sangat dilarang oleh agama?
Kalau
harus mandi di luak itu, karena rame, akan ketauan siapa yang hanya datang dan
kemudian nggak mandi, jadilah saya mengikuti prosesi bunuh diri masal itu.
Tetapi kok mereka biasa aja ya? Heran. Kurang beriman nih…
Nah
kalau dengan sistem kamar mandi di rumah, kita cukup masuk, dan ketika keluar
nggak ada yang tau apakah kita beneran mandi di dalemnya atau nggak. Heee…
Iya,
akan ada masanya saya kira kemudian benar-benar nggak akan ada warga yang mandi
ke sana lagi dan tempatnya kemudian hanya jadi sarang belukar. Maka sebelum itu
benar-benar terjadi, biar sedikit saya dokumentasikan untuk dikenang-kenang.
Luak
Sebelum
nantinya akan benar-benar punah, saya ingin sempatkan dulu menulis tentang
sebuah gaya hidup untuk mandi dan mencuci di Sungayang.
Dahulunya,
memiliki kamar mandi di rumah, adalah suatu hal yang mewah, akan halnya
memiliki televisi dan antene parabola, seperti ha lnya berkompor gas dan dapur
berlantai marmer.
Maka
diluar hal mewah itu, mayoritas masyarakat akan memiliki kesamaan pola budaya
untuk mandi, yaitu mandi ke pemandian masyarakat. Terkhusus untuk warga yang di
Kampuang Tangah, Jorong Duo, pemandian umum yang tersedia berada sedikit ke
daerah bawah, kawasan Sadio namanya (untuk nama Sadio ini --yang diambil dari
nama seorang datuak-- mungkin akan diceritakan tersendiri nantinya,
dikesempatan bercerita horror, iya).
Pemandian
ini dalam bahasa kampung kami bernama LUAK. Atau juga Luhak. Luhak ini, kalau
saya artikan secara bebas adalah tempat mata air. Iya, memang bersumber mata
air asli. Mata air itu, di Sadio, tersebar di beberapa titik, jaraknya lumayan
berdekatan masing-masing. Luak di Sadio ini memang daerahnya agak kerendahan.
Kita harus turun sekitar 40an-50an anak tangga. Disekitarnya ada pohon-pohon
kelapa, durian, dan kolam-kolam ikan.
Sumber
mata air jernih tadi, kemudian ‘dikolamkan’, atau dibuatkan baknya. Untuk di
daerah Minang, kampung ayah saya, karena sumber mata airnya besar dan memiliki
debit air banyak, memang dibuatkan kolam besar untuk dapat mandi sekalian
berenang. Dan memang daerahnya itu lumayan terbuka.
Di
kampung saya ini, hanya dijadikan semacam sebuah bak besar yang terhampar. Dan
sumber mata air itu benar-benar di alam kalau saya bilang. Penutup-penutupnya
rata-rata dibuatkan oleh alam, pohon-pohon besar, semak belukar, dll.
Dipinggirnya
dibuatlah tempat orang untuk duduk, untuk jongkok berjejer. Sekitar untuk 3-4
orang. Ya mandi, ya mencuci, ya gosok gigi, ya berwudhu.
Karena
syukurnya ada beberapa sumber mata air, dan adanya pikiran-pikiran jorok saya
perlunya dipisahkan secara mahram, dibuatlah Luak untuk masing-masing gender.
Luak laki-laki ya khusus laki-laki, disana mandinya sebatas pakai cangcut. Tapi
di Luak untuk perempuan, terpisah sekitar 20-30 meter, sayangnya nggak LL. Mereka di sana
melilitkan sarung/kain untuk jadi penutup. Kayak kemben. Kok saya bisa tau?
Iya, muehehee…
Kalau
untuk buang hajat, dibuatkan jambannya, lumayan banyak, deket-deket sana juga.
Dibuatkan di tempat air mengalir, ditutupkan dengan seng/tembok batu/pelepah
kelapa. Atapnya langit. Seru kan? Sebuah toilet natural dengan flush system 24
jam.
Ada
juga sih Luak yang tidak dikhususkan untuk gender tertentu, tapi hanya
ditujukan untuk mencuci, karena agak terbuka tempatnya. Ada juga mungkin
beberapa orang yang disebabkan Luaknya penuh, dan buru-buru, tetap nekat mandi
disana. Hal-hal seperti itu risikonya ya tanggung sendiri.