Seni Memasak

Resep dasar mie tek tek sudah berhasil saya dapat. Tinggal penyempurnaan sense nya dengan beberapa kali tes masak dulu. Persis seperti saya mencoba resep-resep lain. 

Masih ada beberapa resep masakan lain yang saya penasaran. Tapi sekarang, ini dulu saja. Udah lama soalnya. Mana tukang mie tek tek yang dulu jualan udah ga lewat-lewat lagi. Ga bisa nyuri-nyuri resepnya. Karena keliatan bumbu-bumbunya standar banget.
Konon, dinamakan mie tektek karena bunyi aduan antara spatula dengan kuali pas masak mie tersebut.. Tek..tek.. 

Tapi karena bumbu yang terlihat standar tadi, tapi rasanya tetap enak, saya jadi curiga asal muasal nama mie tek tek itu maksudnya adalah mie ketek, bumbu rahasia yang disembunyikan tukang jualnya.

Halahh.. enak kan? Murah lagi. Biar bagaimanapun, itulah seni. 

Iya, setelah  mecoba sendiri, saya meyakini dan enjoy masak karena ada seni di dalamnya. 
Itulah kenapa ketika sebelum bisa masak sama sekali, saya merasa harga-harga makanan di restoran-restoran yang menggunakan jasa chef, itu kemahalan. Menghabiskan duit 300ribuan cuma buat beberapa iris daging yang bukannya bikin kenyang, malah cuma menambah slilit di gigi saja, adalah tindakan mengada-ada.

Atau demi racikan minuman yang cuma beberapa teguk karena wadah gelasnya lebih pendek daripada kaki gelas, yang bukannya menghilangkan dahaga dan makanan tetap tersangkut di tenggorokan, yang kemudian untuk itu kita disuruh bayar 100ribu lebih, itu gila Tuan.

Sekarang baru saya tau, yang mahal itu bukan di porsinya yang sedikit, atau rasanya yang cendrung aneh bagi yang lidahnya biasa merasakan masakan ampera, tapi mahal karena ada kreasi di dalamnya, ada inovasi, ada sentuhan seni pada tiap gigitan dan tegukan makanan dan minuman itu.

Seperti juga iPhone yang dijual jutaan mahalnya itu, ternyata total komponennya itu kalau dihitung-hitung cuman memerlukan modal 1.6jutaan saja, yang kemudian harga jual menjadi berkali-kali lipat adalah adanya biaya inovasi di dalamnya, nilai-nilai intelektualnya (ingat skripsi).

Itulah saya jadi tercerahkan, orang-orang yang sering makan di sana pun tau bahwa yang mereka cari bukan kenyang, tapi mencari rasa. Prinsip dasar itulah yang saya ajarkan pada murid-murid saya. Seperti chef Karen, Chef Marinka, Juna, Farah Quin, dan yang lain-lain. Hahahaaa...

Tapi dari kebanyakan saya punya murid, ada dua chef yang paling susah diajarin, pertama chef Juna, bagaimana nggak, lebih galak murid daripada guru, maka justru saya yang sering dibentak, haha..

Satu lagi  chef yang susah diajar itu Farah Quin, bukan karna galak seperti Juna, tetapi saya nya susah fokus. Saya bilang kuali, dia bilang frying pan, saya bilang bawang putih, dia bilang garlic. Gimana bisa fokus. Tuan pikir karena apa ha? 



Tidak ada komentar:

Posting Komentar