Kasus Pengeluaran Siswa SMP 4 Padang

Hari Senin tgl 6 Mei 2013 saya dapat update berita terbarunya di Padang Ekspres, bahwa eks siswa smp 4 Padang yang bernama Fajri itu sudah diterima di SMP 20 Padang atas disposisi Wali Kota Fauzi Bahar. Artinya Pak Wali Kota telah memberi pertimbangan khusus (moral) dengan melanggar keputusan dispenda, bawahannya. Keputusan yang dimaksud adalah surat edaran dispenda Padang no.420/0827/DP.sekre/2011. 

Mulanya saya tau berita tentang ini justru bukan di harian lokal Padang, tapi dari harian nasional Kompas tanggal 4 Mei 2013. Ada berita dengan porsi kolom yang cukup besar, berisi berita bahwa seorang siswa SMP 4 Padang, bernama Fajri (14), tertangkap oleh petugas keamanan saat bersama kawannya yang berusia 17 tahun mencoba mencuri sebuah velg Fortuner subuh-subuh. 

Saya tak bermaksud membela si Fajri ini, karena bagaimanapun dia tertangkap tangan, walaupun pengakuannya dia hanya diajak dan telah mencoba menolak. Biarlah itu pengadilan yang urusi. Tapi akibat kejadian itu, anak ini kemudian dikeluarkan dengan vonis: tidak boleh sekolah di semuaaaaa sekolah menengah pertama di seluruh kota Padang! Big wow. 

Untuk perkara ini ternyata kemudian sudah selesai dengan bantuan Wali Kota seperti saya ceritakan di atas. Namun tetap yang bikin saya heran adalah pernyataan si Kepala Sekolah di Kompas tadi itu. Berikut poin pernanyataan Suardi seperti yang dikutip di Kompas:
"Sebagai siswa yang berasal dari keluarga broken home, sekolah sudah melakukan pembinaan tetapi gagal. Fajri sulit diatur dan sering bolos sekolah. Dengan kasus yang menimpa Fajri, status sekolah favorit SMP 4 bisa luntur."
"Kasus ini merusak citra sekolah. Anak yang kurang bagus tak bisa dibina."

Saya highlight ya, "Kasus ini merusak citra sekolah. Anak yang kurang baik tak bisa dibina."
Yang membuat saya jadi ingin ngobrol dengan Pak Suardi, Kepala Sekolah SMP 4 Padang ini dan juga mempertanyakan, dimana letak "Guru adalah orang tua mu yang kedua"? Karena yang namanya orang tua, apa karena anak berkelakuan kurang baik jadi lantas dibuang begitu saja dan tidak mengakuinya sebagai anak? 

Oh ya, sudah Bapak bina tetapi tidak bisa diatur. Tapi kan katanya sekolah Bapak ini sekolah unggul?  Dimana letak keunggulan sekolah jika membina seorang anak badung saja gagal? Dimanakah letak keunggulan sekolah jika hanya bisa mendidik siswa-siswa yang memang sudah 'jadi' saja?  Itu kalau saya bilang kayak mengajarkan Lionell Messi main bola. Untuk apa lagi?

Kalau itu definisi bapak dalam keunggulan, bukankah itu sebuah keunggulan artifisial? Dalam hal mendidik, yang namanya unggul itu juga termasuk bisa menjadikan siswa-siswa bermasalah menjadi unggul sesuai kemampuannya. Ah, tentu tau lah Bapak hal itu... Kan sudah disertifikasi...

Apa, citra sekolah rusak karenanya? Terus Bapak mengaku unggul darimana? Kalau saya merujuk pada definisi sekolah unggul versi Bapak, tentu unggul juga dalam proses penyaringan awal kan? Dimana hanya 'anak-anak baik' yang akan berhasil masuk ke sekolah unggul Bapak. Tapi kenapa masih bisa ada 'anak yang kurang baik' seperti Fajri ini yang diterima? Berarti dari proses penerimaan awal saja, jelas sekolah Bapak ini tidak unggul karena menyaring bibit yang kurang baik. 

Pak Suardi yang saya yakin baik hatinya, sekarang sih masalahnya sudah selesai ya, Si Fajri itu sudah dapat sekolah baru dan mudah-mudahan menjadi pelajaran baginya, dan sekolah Bapak pun sudah terbebas dari seorang anak yang kurang baik itu. Tapi selain bagi Fajri, ini juga jadi bahan pelajaran bagi Bapak, bahwa mendidik itu sifatnya holistik. Tidak semata-mata akademis itu saja. Mendidik daripada karakter yang lebih utama juga kan? Jika seorang anak dinilai gagal dibina, gurunya juga menghadapi kegagalan, kegagalan membina. Maka jika mesti dicap buruk, ada standar ganda di dalamnya, cap buruk akan tertempel pada keduanya. 

Dan jika Bapak masih bertahan dengan pandangan sekolah unggul seperti yang Bapak pahami ini, sepertinya jabatan Bapak sebagai Kepala Sekolah hanya dan cuma hanya dalam hal struktural. Dibalik itu, prediket Bapak sebagai guru yang sebenarnya guru, seperti terkikis habis. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar