Tukang Jawa

Bagaimanapun tulisan ini saya yakini adalah sebuah tema baru dalam khazanah linguistik, kultur, antropologi, atau apalah. Berdasarkan penelusuran mendalam dari pengalaman dan pengetahuan pribadi yang minim. Huehee..

Tercetus waktu lagi nyetir berangkat kantor beberapahari lalu, saya ngiringi mobil pikap di depan, ada tulisan di kacanya, “sedia jasa Tukang Jawa”. Hmmm… Tukang Jawa.

Kenapa kemudian orang ini menjual jasanya dengan brand bernuansa rasis begitu. Tuan boleh bingung, tapi kami yang di Sumatera Barat, kami yang orang Minangkabau, rasanya tidak. Pemuatan kata jawa bukan dalam hal peremehan, tapi justru sanjungan nilai, seperti kalau di tim sepakbola, pemain lokal dan pemain asing memiliki status yang berbeda, ngetopan yang asing kan?

Sebelumnya, perlulah Tuan Nyonya ketahui, bagaimana para tukang ini mayoritas, mayoritas ya, bagaimana tukang di Minangkabau punya tindak, bagaimana rupa tukang Minang punya kerja. Ini sudah menjadi bahan celaan umum.

Setiap menceritakan tukang asli Minang, orang-orang akan memiliki versi cerita yang serupa, “Kalau orang kita ini bertukang, datangnya kadang sudah jam 9 atau jam 10 pagi, itupun tak langsung kerja. Merokoklah mereka dulu, mengopi dan ngobrol lah mereka sejenak. Baru mulai kerja. Menjelang zuhur sudah pasti mereka akan langsung istirahat, makan, tidur-tiduran, solat bagi yang iya. Istirahat lagi.

“Kerjaan akan mereka lanjutkan sekira pukul 2. Setelah ashar, langsunglah mereka berberes perkakas, pamit pulang. Begitulah setiap hari sampai kerjaan membangun selesai, sampai habis Tuan punya tabungan, sampai dongkol Tuan punya kesabaran.”

Awal tahun 2000-an, pembangunan konstruksi, infrastruktur, atau perumahan, secara sedikitsekali, mulai dikerjakan oleh tukang yang migrasi dari Jawa. Entah mereka dapat link darimana, entah diajak juga oleh pimpro mereka di sana, untuk kerja di tempat kami, di Sumatera Barat.

Mulailah dari sana masyarakat bisa punya lihat. Saudara-saudara yang berprofesi sebagai tukang dari Jawa ini kerjanya macam apa. Jam 7 paling lambat jam 8, sudah datang dan langsung kerja. Istirahat ngerokok atau ngopinya nanti itu jam 9 atau jam 10. Semacam coffebreak lah. Trus kerja lagi sampai istirahat siang. Lanjut kerja lagi, tapi pas habis ashar, mereka tidak berberes perkakas seperti tukang lokal, mereka lanjut lagi sampai menjelang magrib, atau kalau ada yang sedikit nanggung, dituntaskan semalamnya hari.

Dari etos kerja semacam ini maka sekarang muncul istilah yang saya sebut di atas, “Tukang Jawa”. Istilah itu mengunsuri nilai jual lebih di dalamnya. Semacam jaminan kualitas pekerjaan juga. Bahwa kalau tukangnya dari Jawa, maka pekerjaan akan lebih bagus, lebih cepat selesai pula. Tenang Tuan punya perasaan.

Walaupun sekarang, belakangan, karena tau bahwa Tukang Jawa ini memiliki nilai jual yang tinggi, banyak juga pihak-pihak yang memanfaatkan momen. Dibilangnyalah kepada pemberi kerja bahwa tukangnya itu Tukang Jawa, dengan modal peyakin bahwa memang para tukangnya itu kalau ngomong medok, njowo. Entah apa itu memang tukang yang sudah pengalaman atau belum, sehingga pemberi kerja yakin.

Karena bodong, kemudian etos kerjanya tak ubah dengan tukang Minang yang dikeluhkan sebelumnya, sehingga companglah sedikit citra Tukang Jawa yang dibangun oleh pekerja-pekerja pendahulu yang memiliki citra kerja yang bagus. Biar begitu, tetaplah sampai sekarang, di Sumatera Barat, istilah Tukang Jawa itu merujuk kepada hasil kerja yang professional, yang memiliki nilai jual tinggi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar