Soekarno dalam Monolog Imajiner

Sudah sekira setahun belakangan, tak nyenyak saya punya tidur, tak tenang saya punya kubur. Itu malaikat-malaikat, yang sedang merekap dosa, tak tenang bekerja di sisi kiri saya. Malaikat yang mau catat pahala-pahala saya di dunia juga jadi kurang cermat bisa menghitung. Bagus kalau justru keliru nambahin pahala saya. Malaikat yang mau interview-interview saya juga tak nyaman dengan kasak-kusuk dunia yang justru semakin merisaukan hati. Berkali-kali rencana interview malaikat itu jadi harus direschedule.

Yang sowan, nyembah, dan ngasih sajen makin ramai. Melalui obrolan-obrolan orang hidup itu, dari kuburan ini, saya jadi tau bahwa negara yang kemerdekaannya yang saya proklamirkan bersama Hatta tahun 45 lalu (ah, Bung Hatta, banyak hal yang mesti saya ceritakan kepada beliau. Betapa tak haruslah rasanya persahabatan kami berakhir seperti catatan sejarah) akan menjalani pemilu presiden.

Calonnya saya dengar-dengar ada dua orang. Dan sama-sama mengusung tema peduli wong cilik. Mengusung ide Soekarno. Karena itukah ramai yang datan ke makam saya? Karena itukah sekarang nama saya banyak disebut dan diperbandingkan? Karena itukah jadinya saya tak tenang dan kemudian risau di kubur?

 Yang pertama sepertinya saya sedikit tau. Prabowo namanya. Itu mantan menantunya Soeharto. Hmmm… The Smiling General, jendral militer yang saya orbitkan, dan kemudian malah kemudian melengserkan saya dari tahta. Bahkan lebih lama, 32 tahun. Brilian. Mantan menantunya ini serupa dengan dia, berlatar belakang sama yaitu karir militer yang cemerlang. Ayahnya juga saya tau. Itulah dia Soemintro Djojohadikoesoemo yang pernah saya tunjuk jadi mentri keuangan.

Calon presiden yang satu lagi ini yang saya belum pernah tau. Tak jelas benar darimana dia berasal. Kalau tak salah Mega menyebut-nyebut namanya Jokowi. Gigih sekali putriku itu mengusungnya. Kenapa dia tak mencalonkan diri sekali lagi? Apa karena kalah popular dari anak desa tadi? Karirnya saya dengar melesat cukup cepat. Dari walikota, langsung menjadi Gubernur Ibu kota negara. Tak lama berselang sekarang sudah akan dicalonkan sebagai presiden.

Oke, saya paham bagaimana putri saya. Karena menyadari untung bahwa minim rasanya dia akan menang jadi presiden, maka dia memilih untuk menjadi ‘presidennya’ presiden. Dia yang akan memimpin negara ini melalui presiden yang telah diusungnya. Selama periode itu, tentulah Mega mempersiapkan putrinya Puan, cucu saya untuk menggantikan Jokowi tadi. Paham benar saya mengenai rencana Mega itu.

Untuk itu, tentu dia tak boleh salah pilih ‘boneka’. Jokowi itu wong cilik juga. Memang lebih gampang diatur. Jangan sampai ketika dia mau mengusung Puan, bonekanya justru sangat kuat sehingga akan gagallah dia punya rencana. Jangan sampai pengalaman ayahya ini terulang pada putrinya.

Tapi ah, Jokowi… Wong cilik. Secara pribadi saya tak elok rasanya dan agak kurang ikhlas saya jikalau dia memimpin bangsa besar dan ramai ini. Wong cilik itu memang harus diperhatikan. Tapi kalau pemimpinnya saja juga wong cilik, bagaimana memperjuangkan jutaan wong cilik lainnya. Rakyatnya boleh wong cilik, tapi pemimpinnya harus segarang macan.

Terbayang waktu saya bertandang ke negara-negara barat dan arab dahulu. Takjub dan kagum saya dengan istana tempat mereka menyambut tamu kenegaraan. Kenyataan bahwa tamu-tamu lain yang datang juga merupakan pembesar-pembesar di negerinya, berperawakan genius, bermartabat, membuat lobi-lobi, aliansi, dan jago membuat gertakan. Ini membuat saya jadi berpikir, apa akan layak Jokowi ini diterima oleh mereka? Bagaimana dia akan membela Indonesia dan menjadikan Indonesia bersaing dengan bangsa lain jikalau dirinya saja hanya akan jadi bahan olokan dan stir negara-negara tersebut. Hanya akan jadi dikendalikan dan dilecehkan.

Untuk hal seperti itu, Prabowo lebih punya wibawa dan bargaining power sepertinya dengan pemimpin-pemimpin bangsa lain. Akan hal ini, tentu Indonesia tak akan diremehkan begitu saja. Namun melihat tabiat mertuanya dahulu, ada risau hati saya jika dia terlalu kuat dan membangun emporium sendiri sehingga malah berbalik menindas wong cilik.

Prabowo ini juga. Mertuanya ini dulu membuat kebijakan yang sangat-sangat bodohnya. Tak dibolehkannya PNS beristri dua. Dilarangnyalah rakyatnya beranak lebih dari dua. Kuranglah sepertinya jiwa kelaki-lakiannya. Dan menurut pula Prabowo seperti itu. Sejak cerai, tak ada kawin-kawin lagi cari pengganti, yang memang juga karena telah habis perangkatnya waktu bertempur di Timor dulu itu.

Ya itu lah kurangnya dan kecewa saya padanya. Saya ini, tentulah mereka tau. Beristri kehendak mau. Berperempuan sekuat nafsu. Berjalan saya ke pelosok Indonesia, tak ada gadis dan orang tuanya yang menolak ketika saya lamar. Hanya dengan telunjuk saya ini! Hahaha… Tinggal saya tunjuk mana gadisnya, besoknya kami akan akad nikah.

Ckck… Sayangnya Prabowo tak dapat merasakan nikmat serupa. Percuma rasanya kita memimpin bangsa, dari Sabang sampai Merauke, tapi tak rasakan nikmat berselir di tiap propinsinya. Sayang sekali. Hahahahaa…

Sudah pagi rupanya. Panjang cerita kalau cerita perempuan-perempuan Indonesia ini diperturutkan. Saya akan melanjutkan istirahat dan bertenang di kubur, semoga tak ada lagi yang datang mengganggu di makam saya ini.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar