Sejarah Hari Raya Kurban

Ini sudah pada hari yang ketiga. Ayah kembali dengan resah menceritakan kepada Ibu dan saya, berkaitan dengan mimpinya yang selalu mengiringi tidurnya. Tiga hari berturut-turut! Mimpi yang sama. Maka cerita ayah hari ini tentulah juga sama dengan ceritanya kemarin, dan kemarin lusanya juga.

“Hhhh… Keluargaku, ini sudah yang ketiga kalinya dalam tiga hari ini, semalam aku tidur, masih dengan mimpi yang sama. Bahwa ada suara yang memerintahkan aku untuk melakukan sesuatu hal yang sangat berat untuk aku lakukan, tapi harus karena ini akan menjadi bukti taatku atas perintah Illaahirabbi.” Suaranya yang berat dan tertahan cukup jelas juga menggambarkan beratnya beliau punya pikiran dan menceritakannya.

Ibu, seperti kemarin ayah cerita, juga menangis kembali mendengar cerita ayah itu. Oh ibu. Tentulah berat untuknya, aku dititipkan Allah kepada beliau setelah beliau tua. Puluhan tahun menantikan kehadiran anak. Dan sekarang Allah kembali memintanya dengan cara yang, ah, tentu sebagai manusia yang bukan siapa-siapa, kita bilang kejam.

 “Aku dengan sangat meyakini dari dalam hati, bahwa itu adalah kehendak Allah, Ismail, betapapun itu terdengar kejam, aku..aku harus menyemblih anak kandungku sendiri. Haruskah aku sekali ini, sekaliiii ini untuk tidak menuruti perintah-Nya?” Ayah melanjutkan keluh kesahnya. Sendu ibu semakin menjadi-jadi.

Entahlah Tuan, meski ayah sedang merasai beban yang sangat berat, ibu mengalami beban mental yang sangat kuat, entah kenapa, saya merasa sangat tenang saat itu. Rasa tak ada yang perlu dikhawatirkan dalam kondisi itu. Padahal ujung solusi dari beratnya beban ayah dan kesedihan ibu, tak lain adalah binasanya saya dari dunia. Ya, memang manusia semua ini akan binasa, tetapi, dipenggal, oleh ayah kandung sendiri, dengan sebuah kesengajaan yang meski beralasan, saya harusnya saat itu punya banyak alasan untuk menentang. Tapi nggak, saya tenang.

Pada cerita ayah yang dua kali sebelumnya, saya sudah menyampaikan agar ayah menguatkan hati melaksanakan perintah itu dan menyabarkan hati Ibu. Ini juga rasanya saya yang mesti turut menguatkan hati ayah. Tidak usah pikirkan saya. Apa yang mesti ditakutkan? Apa yang mesti diragukan dari perintah itu?

Saya ingat cerita ayah yang waktu dulu membabat habis semua kepala-kepala berhala dan hanya menyisakan satu kepala berhala besar. Apa ayah kemudian mendapat celaka? Tidak. Berhala-berhala itu tak punya kuasa terhadap ayah. Jangankan patung begitu, saya juga ingat ayah akan dibakar oleh raja lalim Namrud, apa ayah mendapat derita? Jangankan tewas, bahkan sedikit luka bakar pun tak dirasa oleh ayah.

Hal-hal serius dan menakjubkan seperti itu, lebih dari cukup untuk tidak meremehkan perintah yang didapat ayah melalui mimpi. Bisikan dari setan? Ah, tak akan mampu mereka itu memasuki alam tidur ayah.

“Ayah, saya mengerti. Segeralah ayah laksanakan perintah dari Allah. Tak elok kalau ditunda-tunda sedangkan ayah sudah sering beroleh instruksi. Tak usah kuatirkan aku, ayah melaksanakannya karena iman, akupun begitu. Aku meyakini bahwa Allah menaungi kita dan tidak ada sedikitpun keburukan dari perintah itu. Oh ibu, bersabarlah engkau, Bagaimanapun kita hanya makhluk-Nya. Banyak cara Allah untuk memulangkan kita kembali. Ini tak lain adalah salah satu dari cara tersebut.”

Saya rasa, keteguhan hati saya ini cukup membantu dan memantapkan hati ayah dan ibu. “Tapi ayah, saya hanya minta satu hal, tolonglah agar ayah menajamkan pisau yang akan ayah gunakan untuk menyemblih saya nantinya. Agar tak perih saya punya luka, tak sakit saya saat sekarat”

Hari yang ditentukan pun tiba. Itulah tanggal 10 Zulhijah. Ayah membawa  saya menjauh dari rumah. Tentulah bertujuan agar ibu tak menjadi sedih. Mata saya pun ditutup, tentulah agar pandangan terakhir mata saya bukan gambaran bagaimana ayah menghunuskan pisaunya ke leher saya. Sedikit ngilu juga itu saya bayangkan.

Tapi entah apa, saya merasa aneh. Tubuh saya serasa ringan, terasa melayang. Tubuh ini seperti mati rasa. Beginikah sekarat? Tapi tidak, saya rasakan sekarang saya berdiri, kesadaran tubuh saya mulai sangat pulih. Tak jadikah ayah menunaikan niatnya?

Saya buka kain pengikat kepala yang menutupi mata ini. Aneh, saya berdiri beberapa lagkah di belakang ayah. Beberapa langkah dari tempat saya dimana tadi rasanya masih terbaring. “Ayah,.” Saya menghampiri ayah yang sepertinya juga mendapati diri sama sedang bingung. Dari belakang  ayah saya bisa melihat, seekor domba telah bersimbah darah di lehernya, tepat dipembaringan saya tadinya.

Yang kemudian saya tau bahwa adalah betapa ayah langsung mengucapkan asma Allah, merasa haru, merasa syukur. Belakangan, saya tau, di Quran surat Ash Shafaat, bahwa semua rangkaian peristiwa itu adalah ujian dari Allah. Dan betapa bahagianya kami, di ayat 102-107nya itu disebutkan bahwa penggantian saya dengan domba itu adalah bentuk balasan dari Allah atas kesabaran kami terhadap ujian tadi.

Saya juga tau, agama Islam yang dibawa Muhammad SAW memerintahkan pelaksanaan kurban setiap tahunnya pada tanggal 10 Zluhijah itu. Tentu itu juga menjadi gambaran tentang ujian, tentang cobaan. Semoga umat Muahammmad dapat memaknainya seperti bagaimana kami memaknainya dahulu.

6 Zluhijah 1435 H
Ismail bin Ibrahim  

Tidak ada komentar:

Posting Komentar