Kenapa Jangan Memilih Fauzi Bahar untuk Gubernur Sumatera Barat

Tahun 2015 ini rencana pilkada gubernur Sumatra Barat. Ada beberapa calon, muka baru, orang lama, atau memang benar-benar  baru. Baru-baru ini norak.

Ada seperti yang namanya Mulyadi, yang saya ga tau bagaimana. Ada juga yang pakai singkatan namanya dengan pertanyaan retoris 'apakah sumbar sudah maju?' Lha kalau udah maju gimana, kalau belum, terus kenapa? Ya itu, dari singkatan namanya yang dijadikan pertanyaan tersebut saya kira mirip dengan orangnya, hanya akan menimbulkan pertanyaan.

Ada juga dengan mengaku-ngakukan bahwa dia adalah mamak bagi orang sumatra barat ini. Di iklannya terlihat bacaan bukunya La Tahzan, cocoklah dia baca itu, agar jangan terlalu sedih Mamak itu nantinya kalau tak terpilih. Kasian, mamak kita  itu sudah tua. 

Tapi itu  juga dilema bagi kita, kalau tak terpilih, pak tua muslim kasim itu bisa sedih. Kalau terpilih, bisa jadi kita yang akan sedih. Bagaimana kita akan berpacu dengan daerah-daerah lain yang punya pemimpin muda dan energik dengan pemikiran-pemikiran segar. Bagaimana nanti nasibnya rakyat Sumatra Barat jika punya gubernur yang mangkat di tengah masa pemerintahannya. Sudah tua sihhh...   73 tahun begitu. 

Ada juga Fauzi Bahar, nah Bapak inilah yang dapat kita jadikan contoh, contoh bahwa selama 10 tahun masa pemerintahannya sebagai walikota Padang, tidak banyak kemajuan yang kami dapat. Sepuluh tahun! 

Bahkan ridwan kamil di Bandung hanya butuh setahun setengah untuk mengubah wajah bandung. Risma dan jokowi dengan dua periodenya, memang membuat orang seIndoesia sadar ada yang berubah dari kota itu. 

Ini, di Padang, liatlah para perantau pulang, setau saya hampir semuanya yang ketika kami cerita, berkomentar sama, "Padang gini-gini aja ya..." Sepuluh tahun!. 

Jangankan hal baru, sekedar menjaga jalan utama khatib sulaiman saja dari yang semula bebas banjir meski hujan selebat apapun, gagal. Sama juga menjaga daerah jalan sepanjang baipas di ketinggian, daerah ketinggian, masih aja kena banjir. Sepuluh tahun!

Jangankan mengharap transpotasi publik yang maju mengiringi daerah lain, sekedar mengurai macet di pasar raya aja gagal. Sepuluh tahun! Terminal ga ada, angkot dan bis apd ngetem dimana suka. 

Ada yang bilangnya "tapi ada beberapa pembangunan infrastruktur baru itu!" Itu juga karena ada bencana gempa di Padang yang kemudian justru donatur-donatur luarlah yang kemudian menginisiasi pembangunan tersebut.

Gempa itu Tuan, saya pikir juga adalah hikmah dibaliknya, kalau tak ada gempa waktu itu, wajah Padang bisa-bisa sekarang ya akan begitu-begitu saja di bawah pemerintahan dengan pikiran ortodoks.

Eh ada sih, itu jalan taplau purus. Iya, akhirnya dengan 10 tahun. Akses jalan baru pinggir pantai sepanjang sekitar 2 km. Jalan jadi, tapi struktur sistem sosialnya tidak siap, jadilah tukang palak dengan modus parkir/ngamen.

Pasar raya Padang? Behhhh...
10 tahun?!

Eh disudahi sajalah saya tulis ini, berlarut ini nantinya.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar