Tersebutlah pada zaman dahulu kala di tengah cuaca terik, kancil merasa sangat kehausan dan kelaparan karena tak ada beroleh makanan. Kancil, yang terkenal cerdik kemudian pergilah ke tepian sungai. Di sana ia minum air sepuas hati, selepas dahaga.
Ketika meminum air itu, kancil melihat ada banyak tanaman yang masih subur disebrangnya dengan buah-buah yang baru masak. Inginlah hatinya pergi ke sebrang sungai. Belum lagi rasanya sungai itu cukup dalam.
Tapi rasa lapar telah meredam takutnya dan rasa haus telah memancing nekadnya. Baru hendak melangkahkan kaki ke dalam sungai, dihdanglah Kancil oleh Buaya yang tiba-tiba muncul.
"Hohooho... Mau kemana kau kancil? Berani-beraninya menghantarkan diri sendiri menjadi umpan buaya. Kebetulan kami sangatlah lapar."
Kancil kaget karena dihaadang buaya besar dan ganas itu. Untunglah dia cerdik, maka dijawabnyalah, "Hai buaya. Maksud saya datang ke sini tidak hendak mengganggu, melainkan memberikan kabar gembira dari raja hutan. Raja menyampaikan pesan untuk memberi hadiah bagi para buaya di sungai ini."
"Benarkah?" Buaya ragu.
"Benar. Tapi saya harus tau dahulu jumlah kalian semua agar dapat memperhitungkan jumlah hadiahnya secara tepat. Berbarislah kalian semua di sungai ini." Kancil membujuk dan memberikan instruksi. Pikirnya dengan berbaris begitu maka akan mudahlah ia menyebrang sungai dengan melompati masing-masing punggung buaya sebagai jembatan.
Tapi diluar dugaannya, buaya malah berbaris berbanjar, mengikuti aliran sungai dari hulu ke hilir, bukan dari pinggir sungai ke seberang sungai. "Kenapa begitu kalian berbarisnya? Barisan semacam itu akan menyulitkan saya menghitung jumlah kalian semua." Kancil mulai khawatir rencananya gagal.
"Oh sesungguhnya kami ingin berbaris sesuai keinginanmu. Tapi sungai di pinggir-pinggir itu terlalu dangkal airnya, ini membuat kami kepanasan dan menjadi kering. Kalau kamu mau, silakan mendekat dulu, nanti bisa menghitung kami." Buaya memberi jawaban.
Kancil awalnya ragu, tapi mendengar bahwa pinggiran sungai itu dangkal, itu berarti dia hanya perlu melewati seekor buaya untuk kesebrang sungai, bukan banyak buaya seperti rencana awalnya. Baguslah.
Mulailah ia melangkah. Ternyata sungainya dalam dan membuat kancil kaget. Melihat kancil gelagapan, para buaya dengan ganas langsung menyerbu kancil. "Kalian sebut tadi ini dangkal! Kalian penipu!"
"Kamu pikir kami yang akan justru tertipu? Sudah benyak sekali hewan hutan kau tipu kancil sialan." Buaya berbalik marah. Marah dan lapar.
Belum sempat kancil menjawab buaya, lehernya sudah ditikam oleh tajam gigi buaya. Buaya lain datang mematahkan batang lehernya. Perutnya ditebus secara brutal. "Rasakan ini kancil. Berani-beraninya hendak tipu kami." Kakinya dipelintir sementara bola matanya dicongkel.
Si kancil teriak-teriak meregang sakit. Buaya tak beri ampun. Selain emosi mereka juga lapar. Isi perut kancil sudah berserakan dan menjadi santapan para buaya lapar. Sungai yang tadi tenang telah berkeruh lumpur bercampur darah.
Kancil insaflah ia betapa sudah menipu saja di dunia dan sekarang merasakan akibatnya.
Original story from here