Sudah pernah pada suatu masa sebelum ini, saya posting tentang gigi saya yang sakit, yang disebabkan lubang pada empat sudut geraham di mulut (yang satu sudah gugur terlebih dahulu jadi umpan perangkat klinik gigi pada 2006, pertama dan satu-satunya pengalaman di dokter gigi). Dan tiap kali kambuh, seluruh anggota tubuh turut rasa ngilu. 

Dan setiap kambuh itu juga hati saya goyang, mau rasanya melanggar pantang untuk tidak lagi ke dokter gigi, apapun terjadi. Ingin rasanya langsung menghambur dan duduk manis di kursi klinik gigi yang sial itu. Setiap kambuh, rela rasanya kalau graham itu dicabut saja dengan segera. Dan dengan tekad pula berjanji pada hati untuk segera mengatasi gigi tersebut ke dokter.

Tapi kemudian jika gusi dari graham tersebut sudah tak lagi meradang, seketika itu pula tekad itu lumpuh. Dan muncul lagi enggan untuk ke dokter gigi, apapun terjadi. Sampai kemudian hal yang di atas terulang lagi.
Entah sentimen atau trauma apa saya sama dokter gigi, tapi dari suatu sisi, sebuah sudut pandang opini, saya terkadang serupa dengan tipikal orang melayu udik yang diceritakan Andrea Hirata di Maryamah Karpovnya. 

Menurut orang melayu udik, permasalah gigi, gusi, dan mulut itu macam area genital. Bersifat pribadi dan tak sembarang mata diperkenankan menatap, tak sembarang tangan boleh menjamah. Dengan keyakinan serupa barangkali, saya terpaksa tahan derita ketika lubang gigi ini meradang. Baiklah rasanya tahan sakit hati daripada sakit gigi, oh Meggy Z durjana.

Tidak ada komentar: