Dahulunya saya rasa saya pernah membahas perkara serupa. Tapi tak apa-apa kan lah saya ulangi (karena tadi nemu lagi kasusnya). Untuk kemudian berbagi opini. Saling mengingatkan.
Sering kita menemui celetukan, atau mungkin keluhan, yang bernada seperti ini:
"Tuhan saja Maha Pemaaf, kenapa saya nggak?"
"Tuhan saja menilai baik dan menilai pahala niat baik dari seseorang, kenapa kamu nggak?"
Seringkah Tuan dengar, atau paling nggak, pernah mendapati kalimat dengan kesan-kesan serupa itu? Atau malah justru kita sendiri yang melontarkannya?
Nah, disini pendapat saya, mbok ya ambil perbandingan jangan ketinggian begitu lho...
"Tuhan saja Maha Pemaaf, kenapa saya nggak?" -Jadi Tuan mau memaafkan orang karena Tuan merasa serupa Tuhan?
"Tuhan saja menilai baik dan menilai pahala niat baik dari seseorang, kenapa kamu nggak?" -Justru karna bukan Tuhan itulah kan?
Memang, mungkin yang pernah ikut pelatihan ESQ tau bahwa di dalam sanubari kita itu ada ditiupkan sifat-sifat Agung Tuhan. Tapi tetap saja, membuat sebuah perumpamaan, sebuah perbandingan, dengan Tuhan, rasanya keterlaluan.
Makanya, ada Rasul yang diutus ke bumi. Rasul sebagai pembawa wahyu, pengembang ajaran Tuhan, dari sesama kita sebagai manusia. Rasul itu telah ditunjuk pula sebagai suri tauladan. Maka jadilah Rasul teladan bagi manusia. Maka jikalau ingin melakukan perbandingan sifat seseorang, atau perumpamaan sifat diri sendiri, ada Rasul yang dapat dijadikan patokan, sebagai sesama manusia.
Janganlah dengan Tuhan. Tuhan itu tiada yang mampu membandingi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar