Sebelum
nantinya akan benar-benar punah, saya ingin sempatkan dulu menulis tentang
sebuah gaya hidup untuk mandi dan mencuci di Sungayang.
Dahulunya,
memiliki kamar mandi di rumah, adalah suatu hal yang mewah, akan halnya
memiliki televisi dan antene parabola, seperti ha lnya berkompor gas dan dapur
berlantai marmer.
Maka
diluar hal mewah itu, mayoritas masyarakat akan memiliki kesamaan pola budaya
untuk mandi, yaitu mandi ke pemandian masyarakat. Terkhusus untuk warga yang di
Kampuang Tangah, Jorong Duo, pemandian umum yang tersedia berada sedikit ke
daerah bawah, kawasan Sadio namanya (untuk nama Sadio ini --yang diambil dari
nama seorang datuak-- mungkin akan diceritakan tersendiri nantinya,
dikesempatan bercerita horror, iya).
Pemandian
ini dalam bahasa kampung kami bernama LUAK. Atau juga Luhak. Luhak ini, kalau
saya artikan secara bebas adalah tempat mata air. Iya, memang bersumber mata
air asli. Mata air itu, di Sadio, tersebar di beberapa titik, jaraknya lumayan
berdekatan masing-masing. Luak di Sadio ini memang daerahnya agak kerendahan.
Kita harus turun sekitar 40an-50an anak tangga. Disekitarnya ada pohon-pohon
kelapa, durian, dan kolam-kolam ikan.
Sumber
mata air jernih tadi, kemudian ‘dikolamkan’, atau dibuatkan baknya. Untuk di
daerah Minang, kampung ayah saya, karena sumber mata airnya besar dan memiliki
debit air banyak, memang dibuatkan kolam besar untuk dapat mandi sekalian
berenang. Dan memang daerahnya itu lumayan terbuka.
Di
kampung saya ini, hanya dijadikan semacam sebuah bak besar yang terhampar. Dan
sumber mata air itu benar-benar di alam kalau saya bilang. Penutup-penutupnya
rata-rata dibuatkan oleh alam, pohon-pohon besar, semak belukar, dll.
Dipinggirnya
dibuatlah tempat orang untuk duduk, untuk jongkok berjejer. Sekitar untuk 3-4
orang. Ya mandi, ya mencuci, ya gosok gigi, ya berwudhu.
Karena
syukurnya ada beberapa sumber mata air, dan adanya pikiran-pikiran jorok saya
perlunya dipisahkan secara mahram, dibuatlah Luak untuk masing-masing gender.
Luak laki-laki ya khusus laki-laki, disana mandinya sebatas pakai cangcut. Tapi
di Luak untuk perempuan, terpisah sekitar 20-30 meter, sayangnya nggak LL. Mereka di sana
melilitkan sarung/kain untuk jadi penutup. Kayak kemben. Kok saya bisa tau?
Iya, muehehee…
Kalau
untuk buang hajat, dibuatkan jambannya, lumayan banyak, deket-deket sana juga.
Dibuatkan di tempat air mengalir, ditutupkan dengan seng/tembok batu/pelepah
kelapa. Atapnya langit. Seru kan? Sebuah toilet natural dengan flush system 24
jam.
Ada
juga sih Luak yang tidak dikhususkan untuk gender tertentu, tapi hanya
ditujukan untuk mencuci, karena agak terbuka tempatnya. Ada juga mungkin
beberapa orang yang disebabkan Luaknya penuh, dan buru-buru, tetap nekat mandi
disana. Hal-hal seperti itu risikonya ya tanggung sendiri.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar