G30S (Gempa 30 September) (1): Antara Cobaan dan Hukuman

Bismillah,
Marilah kita mulai postingan kali ini dengan menundukkan kepala sejenak untuk berdoa atas musibah gempa di bumi Minangkabau 30 september 2009 lalu…

Seperti yg diajarin nyokap, gw meyakini bahwa yg namanya musibah slalu datang pada saat kita lengah. Pada saat kita ngerasa aman. Ketika Padang sibuk mengantisipasi kalo2 bencana tsunami datang, musibah justru menghampiri di darat melalui runtuhnya bangunan2, bahkan longsoran tanah menimbun 3 desa/nagari di Pariaman sana, menimbun sluruh penduduknya, seperti Allah menghilangkan negeri Saba’. Innalillah…
Kita tentunya udah tau besarnya dampak gempa kemaren dari berita2 di berbagai media. Sebuah pemberitaan yg membobardir yg bahkan sampai H+10 masih berkembang dan masih belum maksimal untuk meliput seluruh tragedi yg terjadi. Sebuah tragedi antara cobaan dan hukuman…
Tiga hari pasca gempa ada temen gw yg nanya, “sebenernya gempa kali ini cobaan atau hukuman sih?”
Jawabannya sama aja buat pertanyaan kek gini, “duluan mana telur ato ayam?” ato “tomat itu sayur ato buah?” Sama aja. Absurd. Tergantung dari sisi mana kita ngeliatnya. Tertangkapnya seorang garong tentu kesialan bagi garong tsb, namun keuntungan bagi masyarakat. Turunnya hujan tentu berkah bagi petani, tapi nggak buat orang yg lagi ngadain kondangan. Tiap musibah sama aja kek analogi barusan.
Permadi Alibasyah dalam bukunya ‘Bahan Renungan Kalbu’ (2000) menyatakan dari seluruh ayat dan hadis yg berisi dalil-dalil tentang musibah, paling nggak ada 3 konsep dimensi:
- Sebagai hukuman dari Allah atas pembangkangan yg dilakukan (konsep sebab-akibat)
- Sebagai penebus dosa di dunia sehingga dengan demikian Allah meringankan siksaan akhirat
- Sebagai cobaan untuk menguji keimanan umat-Nya. (anak sekolahan aja di uji kan buat naek kelas?)
Walopun dari ketiga konsep diatas ujung2nya sama aja: musibah, tapi tetep bagaimana kita meyakini en menyikapi musibah tsb, kek kata pepatah, “apa sih artinya pena emas buat orang yg ga bisa nulis?” orang yg bisa nulis tentu akan menghasilkan ‘sesuatu’ sewaktu ngedapetin pena emas tsb, sedangkan yg ga bisa nulis ga ngasilin apa-apa, bahkan nganggap pena emas itu cuma sbagai beban karna kudu dijaga. En sebaik-baik sikap ketika ngedapetin ‘pena emas’ adalah beristighfar dan berserah diri ‘innalillaahiwainailaihiraji’uun’… darimanapun sudut pandang kita.
“… boleh jadi engkau membenci sesuatu padahal ia amat baik bagimu, dan boleh jadi (pula) engkau menyukai sesuatu, padahal ia amat buruk bagimu; Allah mengetahui, sedangkan engkau tidak mengetahui.”