Karena ada kemungkinan kegiatan untuk posting blog adalah sebuah kesempatan yang langka dikemudian hari. Entah disebabkan apa. Maka kali ini saya akan membuat sebuah tulisan yang bagus. Yang akan dikenang.
         
 TULISAN YANG BAGUS

Terima kasih. 


Romantisme Hujan

Sehingga mereka-mereka itu Tuan, mencoba meromantis-romantiskan hujan. Dan seketika pergerakan aktifitas mereka terhenti akibat genangan air yang dituangkan oleh langit itu, keromantisan-romantisan tadi mendadak menjadi kecengengan, "Hujaannn..." Haha. 
Maka bukankah cukup saja sebaiknya hujan itu ditanggapi dengan kasur kan Tuan? Di sana, kasur dan hujan, adalah sebenarnya keromantisan. Zzzz....  

Indeks Naik, Mental Turun. Indeks Turun, Mental Kebanting.

Waktu indeks lagi bagus, "Pak, ini sahamnya lagi bagus pak, tren positip."
"Eh tunggu dulu lah, ntar belinya kemahalan."
...
...
"Pak, ini indeks turun, saham blucip XXXX koreksi udah 11% . Beli murah."
"Nggak ada sentimen positif ya, liat dulu pergerakannya, kita nggak tau turun sampe berapa kan. Salah-salah tambah turun aja."

Ini satu dari sebagian cara pandang investasi.

Sejarah Palsu Kemerdekaan Indonesia

Mesir bertragedi, tunduk kepala dulu, doakan syuhada. Adalah saat SMA saya sempat mempelajari peta politik Timur Tengah, dengan baca, dengan diskusi, dan sekarang sudah nggak update lagi, jadi saya hanya mendukung kebenaran, entah apa itu 'benar' sekarang di sana. 

Sedangkan Mesir ini dulu adalah termasuk negara pertama yang mengakui kemerdekaan Indonesia yang, ya ampun, itu besok hari peringatan kemerdekaan negara kita yang ke-68. 

Ntar malam, 68 tahun lalu, para pemuda desak Soekarno-Hatta untuk segera proklamirkan kemerdekaan. "Mumpung Jepang lagi down Pak... Hiroshima dan Nagasaki di bom Amerika, galau banget tu mereka sekarang". Tapi Bapak-Bapak tersebut nolak, "Yaelah Tong, yang sabar napah?"
"Eh lu Sukarno atau Malih hah?!" Para pemuda emosi karna Sukarno ternyata orang Betawi, bukan Jawa. Kalau Hatta mah jelas dari Bukittinggi. Kalau makan aja nyarinya gulai tambunsu, kfc ga doyan. 

Akhirnya para pemuda tak sabaran itu menculik kedua tokoh kita ke Rengasdengklok. Namanya juga pemuda, yang sabar itu langka. Selain juga bertujuan mensterilkan pemikiran Soekarno-Hatta dari propaganda pihak luar. 

"Pak, ini pena, ini kertas, segera susun teks nya dongg.."
"..."
"Pak, jawab kek."
"..."
"Oiii Pak,,."
"Ye sabar Otoongg.... Gue lagi tarwihan pan.! Udah rakaat tujuh nih, nanggung. Ulang lagi deh kan. Semprul." 

Iya, waktu itu Ramadhan kan.

Setelah tarwihan, para tokoh dan pemuda-pemuda tersebut barulah akhirnya habisin sarabi dan kelepon sisa takjil berbuka. Nggak diperlu bahas juga lah ya. Yang pasti kemudian mereka sudah mem-finish-kan naskah proklamasi kemerdekaan mendekati subuh. Kebetulan lagi tidak ada tayangan bola, jadi bisa langsung tidur.


Paginya, berita akan dibacakannya proklamasi kemerdekaan telah diumumkan ke kampung-kampung, melalui radio juga. Masyarakat berkumpul di Pegangsaan. Yang di luar kota pada denger radio. 

"Tapi yang bakal bacain ini ntar siape?" Soekarno bimbang.
"Waang sajo lah,." Dari logatnya ini si Hatta yang kasih saran.
"Eh lah, kok gue? Ntar ditembakin tentara Nippon pegimane? Orang-orang pada rame juga ngeliatin, malu.."
"Ndak apa-apa gai tu doh." Hatta secara tak sengaja telah mempopulerkan bahasa gaul mindo, minang-indonesia. 
"Hmmm...tapi..."
"Beko banyak anak gadih... kebayanyo rapek-rapek, rok nyo singkek-singkek."
"Ok!" Soekarno sumringah. You know Soekarno laaahhh.... 

Dan itulah harinya, 17 Agustus 1945, Soekarno yang didampingi Hatta membacakan teks proklamasi, bahwa sudah cukup Indonesia dijajah oleh bule-bule eropa dan bule sipit jepang. Bahwa Indonesia akan memulai negaranya sendiri tanpa pihak-pihak tersebut. Dan inilah sekarang harinya, 68 tahun berselang, masih bergantung erat indonesia pada suasana hati bangsa-bangsa lain. 


Sejarah Legendaris Kecurangan Pendidikan Kota Padang

http://id.berita.yahoo.com/tak-beli-lks-murid-sd-dilarang-masuk-kelas-020120090.html. Rasa-rasanya saya ada akrab dengan berita yang di link ini. Tuan juga kah? Disuruh beli buku oleh guru dan hanya bisa beli kepada mereka? 

SD, ada pelajaran Budaya Adat Minangkabau (BAM). Guru saya bilang sambil mengacung-acungkan buku yang bersampul kuning itu, "kalian semua harus punya buku teksnya, kalau mau beli sama saya, karena di luaran nggak ada yang jual bukunya." 

Sore saya ikut Ibu, ke toko buku di pasar. Diliatin buku BAM bersampul kuning. "Buku ini kan? Beli di sini saja, lebih murah." Ibu saya kasih tau. Karena saya orangnya polos, maka terjawablah, "Tapi Bu Guru bilang bukunya cuman dia yang jual. Berarti yang ini ga sama bukunya..." 

Kemudian saya tau kalau polos dan dikadalin itu hanya beda tipis. 

SMP, guru pertanian, juga menginstruksikan hal sama. Cuman lebih ekstrim dan menyerupai berita di atas. Maka meskipun buku punya Kakak masih ada dan bisa pakai, dengan berat hati dibeli juga. Temen ada seperti saya beli buku BAM itu, dia beli di luar, di toko buku. Buku yang sama, penerbit itu juga, harga lebih murah.

Besoknya disuruh bayar buku ke depan masing-masing. Temen saya nggak ikut dan bilang udah punya dan baru dibeli di tempat lain. Yang kemudian terjadi adalah kawan saya hanya diperbolehkan mengikuti pelajaran jika sudah beli buku yang sama tadi itu ke Bu Dirna itu. Eh kelepasan sebut nama.

Gara-gara itu temen saya punya kelebihan buku yang tersia-siakan. 

Itu hanya satu-dua dari yang saya yakin ada banyak kasus serupa. Secara terpisah. Tapi taukah Tuan, Nyonya, bahwa di Padang ini, ada kasus demikian namun berlaku untuk semmmuaaaaaaa siswa, semua level. 

Begini ceritanya... He

Itu sekitar tahun 2002. Saya kelas 3 esempe. Wakil kepala sekolah masuk ruangan sambil mengumumkan, "Dinas pendidikan daerah kita ada bikin stiker bagus, bagi siswa-siswi yang ingin beli silahkan, harganya 1000. Ini stikernya bagus. Ada pesannya  'Hormatilah orang tua dan guru.'"

Iya, stikernya cuma begitu saja, ukuran kira-kira segede smartphone, berisikan tulisan dengan font standar: Hormatilah orang tua dan guru. Ditambah sedikit insert di bawahnya, sukseskan konvensi/pertemuan atau apalah dulu itu istilahnya, konferensi guru se Indonesia yang akan diadakan di Bali. 

Ayolah, sebagai abg, kesenangan apa yang akan didapat oleh siswa dengan stiker jelek seperti itu. Bisa ditebak, di kelas kami ga ada yang beli satupun. Keluar main cerita dengan kawan kelas lain, ternyata sang wakepsek juga mengumumkan hal yang sama. Berarti satu sekolahan dong disuruh beli stiker prahara itu.

Malamnya di rumah, kakak juga cerita di SMA nya juga disuruh beli stiker tersebut, dan ada tetangga yang SD juga demikian. Lha, ini berarti semua sekolah, semua level, menjalani hal serupa, dengan hasil yang sama di hari pertama 'penjualan', gagal total. Ga ada yang mau beli. 

Dua hari kemudian, yang masuk sudah wakepsek dan sekaligus kepala sekolah. Berbeda dengan hari pertama penjualan, kali ini mereka bukan menjual lagi, tapi memaksa beli, "semua murid di kelas ini harus beli stikernya! Bagi yang tidak membeli  akan dikenakan sanksi! Ketua kelas mana, ini stikernya, tolong jual kesemua kawan, nanti setelah jual antar duitnya ke kantor!"

Jadilah semua membeli stiker. Dengan takut, dengan kesal. Hari itu, semua pelajar di Kota Padang telah jadi korban premanisme pendidikan. Berita heboh, orang-orang tua mulai mencari tau, dan kemudian sempat berembus kabar uang penjualan stiker jahanam tadi itu akan digunakan untuk keberangkatan rombongan dinas pendidikan dan guru di padang untuk acara yang di Bali tersebut. 

Mungkin sebelumnya juga dinas pendidikan mengadakan rapat dengan jajaran kepala-kepala sekolah yang ada di Padang. "Kami mau ikut jalan-jalan konvensi ke Bali, tapi sedang tidak ada anggaran, bagaimana ini, ada usul? 

"Bagaimana kalau kita gunakan saja berapa dana yang ada, nanti kekurangnnya pakai pribadi saja pak?"
"Goblok, maksud saya yang nggak pakai duit pribadi!"
"Eh, nganu, mintain ke murid aja kalau gitu pak, murid-murid di padang rame ini."
"Ya kan nggak mungkin gitu aja, atau, bisa saja, tapi bagaimana caranya supaya nggak terkesan mintak gitu aja?"
"Aha, jualin stiker saja pak."
"Boleh juga. Kumpulin kepala sekolah semua yang di Padang."
...
Beberapa waktu berselang...
"Bagaimana kepala-kepala sekolah, sudah berapa stiker yang terjual. Duitnya ngumpul berapa?"
"Maaf Pak, belum ada laku satupun."
"Kenapa?"
"Kata anak saya stikernya jelek Pak."
"Saya ga mau tau, pokoke harus terjual semua. Semua kudu habissss."
 "Tapi pak, itukan namanya pemaksaan, itu mencemari Tut wuri handayani." (idealis)
"Hmm, ya, kamu tidak setuju? Saya dengar sekolah nun jauh di pedalaman desa lagi ada butuh kepala sekolah juga di sana.. Hmmm..."
"Ampun paakkk... Besok terjual habis kok pak."
Jadilah seperti yang saya ceritakan sebelumnya di atas. 

Meskipun beberapa saat setelah itu, kejadian Bom Bali membuat semua agenda di pulau tersebut batal untuk beberapa lama, otomatis acara pertemuan guru itu juga batal, dan masyarakat telah terlupa dengan kemana arusnya uang tersebut kemudian.

Strategi Kampanye Politik Indonesia

Bapak Ibu calon anggota dewan ataupun calon pimpinan daerah di Indonesia, ataupun calon presiden dan wakilnya yang dirahmati Allah. Saya sih nggak kenal dengan Bapak Ibu sekalian, bahkan hanya sekedar wajah meskipun ada banyak foto yang telah Bapak Ibu pampang di ruang publik. Tapi terlalu banyak sehingga sudah tidak diperhatikan lagi. Sampah visual. Begitu istilah dari para desainer komunikasi visual.

Tapi saya cukup tau kalau sebelum memampang foto dengan latar belakang partai, Bapak Ibu sudah terlebih dahulu mampang foto di iklan-iklan layananan publik melalui instansi pemerintahan yang Bapak Ibu pimpin. Paling pesannya cuma pesan klise seperti "jadilah warga kota yang bermartabat, patuhilah hukum" seperti itu, itupun porsinya fontnya cuma 20% dari besar baliho, 20% lagi untuk logo instansi, 60% sisanya habis dengan foto Bapak Ibu. Itu maksudnya apa? Nggak ada kaitannya. Najis ya.

Eh tapi Bapak Ibu tau la kan kalau ada tempat-tempat publik yang tidak boleh dipasangi dengan poster-poster dan baliho-baliho? Kalau pertanyannya dilanjutkan dengan 'kenapa Bapak Ibu memasang poster kampanye di tempat-tempat yang tidak diperbolehkan?' pastilaaaa... jawabnya nggak akan jauh dari 'kami selalu mencoba mantaati aturan dan tidak ada kesengajaan memasang poster di tempat-tempat tersebut, mungkin itu dilakukan oleh anggota tim sukses atau simpatisan kami.' Gitu kan ya standar jawabannya? 

Yeeehhh,. kalau itu mah saya juga tau Bapak, saya tau Ibu. Kayak Bapak Ibu yang mau aja megang palu dan paku, kayak yang bakalan rela aja manjat-manjat tiang listrik bawa-bawa tali. Justru dari jawaban Bapak Ibu itu keliatan ketidak-adanya-kapabilitas Bapak Ibu menjadi wakil kami. 

Ngurus tim sukses dan simpatisan yang belum seberapa aja untuk mentaati hukum kampanye aja gagal, bagaimana mungkin Bapak Ibu bisa mengurusi ratusan ribu penduduk konstituen? 


Alhamdulillah udah mendingan ya, dapet tidur jam 10an tadi malam. Ntar malam lagi. Sleep rule! :)
Huwwiiingggg....Huwinngsshhhhhhh.....Huwwwingggg......
Rasanya di kepala sekarang berputar dan menekan begitu. Pusing. Kurang tidurkah? Mungkin. Dibawa tidur seperti biasa sepertinya bisa hilang lagi.