Sejarah Legendaris Kecurangan Pendidikan Kota Padang

http://id.berita.yahoo.com/tak-beli-lks-murid-sd-dilarang-masuk-kelas-020120090.html. Rasa-rasanya saya ada akrab dengan berita yang di link ini. Tuan juga kah? Disuruh beli buku oleh guru dan hanya bisa beli kepada mereka? 

SD, ada pelajaran Budaya Adat Minangkabau (BAM). Guru saya bilang sambil mengacung-acungkan buku yang bersampul kuning itu, "kalian semua harus punya buku teksnya, kalau mau beli sama saya, karena di luaran nggak ada yang jual bukunya." 

Sore saya ikut Ibu, ke toko buku di pasar. Diliatin buku BAM bersampul kuning. "Buku ini kan? Beli di sini saja, lebih murah." Ibu saya kasih tau. Karena saya orangnya polos, maka terjawablah, "Tapi Bu Guru bilang bukunya cuman dia yang jual. Berarti yang ini ga sama bukunya..." 

Kemudian saya tau kalau polos dan dikadalin itu hanya beda tipis. 

SMP, guru pertanian, juga menginstruksikan hal sama. Cuman lebih ekstrim dan menyerupai berita di atas. Maka meskipun buku punya Kakak masih ada dan bisa pakai, dengan berat hati dibeli juga. Temen ada seperti saya beli buku BAM itu, dia beli di luar, di toko buku. Buku yang sama, penerbit itu juga, harga lebih murah.

Besoknya disuruh bayar buku ke depan masing-masing. Temen saya nggak ikut dan bilang udah punya dan baru dibeli di tempat lain. Yang kemudian terjadi adalah kawan saya hanya diperbolehkan mengikuti pelajaran jika sudah beli buku yang sama tadi itu ke Bu Dirna itu. Eh kelepasan sebut nama.

Gara-gara itu temen saya punya kelebihan buku yang tersia-siakan. 

Itu hanya satu-dua dari yang saya yakin ada banyak kasus serupa. Secara terpisah. Tapi taukah Tuan, Nyonya, bahwa di Padang ini, ada kasus demikian namun berlaku untuk semmmuaaaaaaa siswa, semua level. 

Begini ceritanya... He

Itu sekitar tahun 2002. Saya kelas 3 esempe. Wakil kepala sekolah masuk ruangan sambil mengumumkan, "Dinas pendidikan daerah kita ada bikin stiker bagus, bagi siswa-siswi yang ingin beli silahkan, harganya 1000. Ini stikernya bagus. Ada pesannya  'Hormatilah orang tua dan guru.'"

Iya, stikernya cuma begitu saja, ukuran kira-kira segede smartphone, berisikan tulisan dengan font standar: Hormatilah orang tua dan guru. Ditambah sedikit insert di bawahnya, sukseskan konvensi/pertemuan atau apalah dulu itu istilahnya, konferensi guru se Indonesia yang akan diadakan di Bali. 

Ayolah, sebagai abg, kesenangan apa yang akan didapat oleh siswa dengan stiker jelek seperti itu. Bisa ditebak, di kelas kami ga ada yang beli satupun. Keluar main cerita dengan kawan kelas lain, ternyata sang wakepsek juga mengumumkan hal yang sama. Berarti satu sekolahan dong disuruh beli stiker prahara itu.

Malamnya di rumah, kakak juga cerita di SMA nya juga disuruh beli stiker tersebut, dan ada tetangga yang SD juga demikian. Lha, ini berarti semua sekolah, semua level, menjalani hal serupa, dengan hasil yang sama di hari pertama 'penjualan', gagal total. Ga ada yang mau beli. 

Dua hari kemudian, yang masuk sudah wakepsek dan sekaligus kepala sekolah. Berbeda dengan hari pertama penjualan, kali ini mereka bukan menjual lagi, tapi memaksa beli, "semua murid di kelas ini harus beli stikernya! Bagi yang tidak membeli  akan dikenakan sanksi! Ketua kelas mana, ini stikernya, tolong jual kesemua kawan, nanti setelah jual antar duitnya ke kantor!"

Jadilah semua membeli stiker. Dengan takut, dengan kesal. Hari itu, semua pelajar di Kota Padang telah jadi korban premanisme pendidikan. Berita heboh, orang-orang tua mulai mencari tau, dan kemudian sempat berembus kabar uang penjualan stiker jahanam tadi itu akan digunakan untuk keberangkatan rombongan dinas pendidikan dan guru di padang untuk acara yang di Bali tersebut. 

Mungkin sebelumnya juga dinas pendidikan mengadakan rapat dengan jajaran kepala-kepala sekolah yang ada di Padang. "Kami mau ikut jalan-jalan konvensi ke Bali, tapi sedang tidak ada anggaran, bagaimana ini, ada usul? 

"Bagaimana kalau kita gunakan saja berapa dana yang ada, nanti kekurangnnya pakai pribadi saja pak?"
"Goblok, maksud saya yang nggak pakai duit pribadi!"
"Eh, nganu, mintain ke murid aja kalau gitu pak, murid-murid di padang rame ini."
"Ya kan nggak mungkin gitu aja, atau, bisa saja, tapi bagaimana caranya supaya nggak terkesan mintak gitu aja?"
"Aha, jualin stiker saja pak."
"Boleh juga. Kumpulin kepala sekolah semua yang di Padang."
...
Beberapa waktu berselang...
"Bagaimana kepala-kepala sekolah, sudah berapa stiker yang terjual. Duitnya ngumpul berapa?"
"Maaf Pak, belum ada laku satupun."
"Kenapa?"
"Kata anak saya stikernya jelek Pak."
"Saya ga mau tau, pokoke harus terjual semua. Semua kudu habissss."
 "Tapi pak, itukan namanya pemaksaan, itu mencemari Tut wuri handayani." (idealis)
"Hmm, ya, kamu tidak setuju? Saya dengar sekolah nun jauh di pedalaman desa lagi ada butuh kepala sekolah juga di sana.. Hmmm..."
"Ampun paakkk... Besok terjual habis kok pak."
Jadilah seperti yang saya ceritakan sebelumnya di atas. 

Meskipun beberapa saat setelah itu, kejadian Bom Bali membuat semua agenda di pulau tersebut batal untuk beberapa lama, otomatis acara pertemuan guru itu juga batal, dan masyarakat telah terlupa dengan kemana arusnya uang tersebut kemudian.

Tidak ada komentar: