Kenapa Menonton Film Terbengkalailah Kata-Kata

Latest Posting : 09 Februari 2016. 
Latest post yang betul-betul sebuah postingan, bukan penyampaian link : 15 Januari 2016. 

Setahun sudah. Blog ini mati suri belum terbangun, hibernasi tak berselimut. Dan saya mulai sadar lagi bahwa blog ini amnesia kata setelah kemarin nonton film tentang Wiji Thukul: Istirahatlah Kata-Kata.

Judulnya kayaknya menohok dan meninju ulu hati dengan sebuah terjangan jarak dekat. Wiji Thukul baru mengambil jeda penuangan kata-kata dalam pikirannya setelah mendapat tindakan represif dan menjadi buronan militer. Sedang blog ini, tak ada yang menghujat, tak ada yang menekan, bahkan tak ada yang baca, terhenti dengan malasnya. Terbengkalailah kata-kata. 

Seminggu sebelum nonton Istirahatah Kata-Kata, saya baca-baca artikel tentang penayangan film yang dapat rating tinggi ini dengan hati sedih. Karena tau film ini tak akan tayang di  XXI Padang. Filmnya bukan selera penonton bioskop di Padang yang hobi film bioskop 'betulan', bukan film dengan selera festival/indie ini yang kemudian diangkat ke bioskop sekelas XXI. Kalau hobi dan mau nonton film festival ya di festival film. Begitu kira-kira.

Pas di siang Kamis dapat tugas ke luar kota. Di Sabtu malamnya lagi muter-muter mall setempat, cek-cek film yang tayang di bioskopnya, langsung ingat tentang film ini. Darah berdesir, degup jantung menjadi cepat, tak perlu mikir panjang untuk saya kemudian langsung ke bioskopnya dan mesen karcis. 

Kesan saya, ini film festival. Cara-cara pengambilan gambar, adegan, dan percakapan-percakapan yang terucap, khas film-film yang pernah saya tonton seperti di Jiffest, atau workshop sinematografi. Tapi ini film festival yang bagus. Yang memang layak tayang di bioskop komersil, yang memang bukan untuk diperbandingkan dengan film Hangout-nya Raditya Dika dan CTS-nya Ernest yang juga lagi in.
Kalau kita (saya) cuma pernah baca-baca sekilas di artikel yang menceritakan bahwa Wiji ini ditakuti oleh pemerintahan Eyang melalui sajak-sajaknya, dan hanya sedikit itu artikel atau referensi yang kita dapat tentang Wiji, mungkin dalam benak kita terbentuk gambaran Wiji yang lantang, rebel, kritis juga dalam tindakan, macam Gie mungkin.   

Tapi dalam film ini gambaran-gambaran itu tumbang sendirinya. Bahwa Wiji hanyalah seorang rakyat sebagaimana lainnya. Cupu, penakut, gugupan, beraninya omong dibelakang, pas diadepin langsung, jiper. Mati lampu  aja parno. Liat orang seragam militer aja gelagapan. Bahkan dia terlihat lebih penakut dari kawan-kawannya yang menjalani keseharian dengan tenang di Pontianak. Takut karena salah, bukan? Gitu isi pepatah. 

Film ini memang tidak untuk menggambarkan garangnya Wiji, tapi memang untuk menunjukkan humanismenya sebagai manusia pada titik yang dasar. Kangen istri, kecewa ketika ada kawannya bilang tak suka buku, becanda jorok sama kawan-kawannya. 

Atau justru film ini sangat cerdas, begini, pembuat film ini ingin menggambarkan bahwa rezim Soeharto sangat sangat sangatttt... kejam, tapi tidak dengan adegan-adegan kekerasan dari rezim itu, tapi digambarkan melalui pelarian Wiji ini, bahwa manusia sekritis dan penyair garang aja, bisa dibuat ketakukan dengan kekejaman pada saat itu. Pesan tersampaikan dari sisi yang lain. 

 Iya, pesannya sederhana, bahkan saya yang tidak terlalu mengetahui pikiran Wiji dan hasil karyanya ini pun, bisa dengan mudah menangkap isi cerita. Itu tebantu dari narasi-narasi dan potongan puisi yang dicuplikkan. 

Ada sastrawan, kritis terhadap pemerintah, terus pemerintahnya marah, sastrawannya diburu, lari. Drama-dilema dalam pelarian itulah yang sederhana namun kaya, yang tak cukup terucap kata.