Picasso Punya "The Lesson", Gw Punya Skripsi

Hal yang cukup menyita perhatian gw belakangan ini adalah tugas pengerjaan skripsi. Momok yang menghampiri seluruh keturunan adam yang menjabat status mahasiswa program sarjana. Oh ternyata nggak juga, denger-denger di kampus (ekonomi) UI mahasiswanya diberi kebebasan memilih membuat skripsi atau ganti dengan kuliah, program magang, atau juga program lainnya.
gambar
Kasian sekali mereka yang nggak memilih mengerjakan skripsi, ga bisa merasakan kesempatan menjadi mahasiswa seutuhnya, karna yang namanya mahasiswa ya ngerjain skripsi. Apa artinya mahasiswa tanpa pengalaman membuat skripsi sodara-sodara?

Ya., emm.. tapi gw pikir-pikir, gw tidak berkeberatan kalau ga menjadi mahasiswa seutuhnya seperti itu. Dengan demikian gw ga harus terjebak dengan berbagai metode, segala macam pengolahan data. Mau mahasiswa seutuhnya kek, mahasiswa setengah mateng, yang penting studinya kelar. Aku iri padamu wahai teman-teman UI!

Sejak proposal skripsi gw ini disetujui kampus, gw mengurangi proporsi memosting blog supaya bisa lebih terarah pada skripsi. Dan sampai sekarang skripsi itu masih belum selesai. Nasibnya terkatung-katung seperti status guru honorer yang telah mengabdi puluhan tahun di pelosok Indonesia.

Dengan perkuliahan yang masih banyak, tambah ngerjain skripsi pula, gw, semestinya melipatgandakan waktu jaga untuk memaksimalkan kedua kegiatan itu. Yang terjadi kemudian bertolak belakang. Waktu tidur gw sama sekali tidak terusik sedikitpun.

Temen gw yang udah berhasil menyelesaikan skripsi bilang kalo dia sering begadang sampe subuh untuk ngerjain skripsinya. Gw bisa tahan sampe pukul 1 dinihari aja udah bagus. Kasur gw selalu terlihat menggoda seperti biasa.

Sepertinya gw perlu mengubah sudut pandang skripsi dari sebelumnya sebagai batu pengganjal di lintasan menjadi sebuah karya. Dan karya ini ga membutuhkan waktu lama lagi untuk diselesaikan, untuk kemudian dipajang, sehingga abis itu pikiran gw yang tersita bisa bebas lagi.

Catatan Jumat

Di dalam Islam, dari tujuh hari seminggu, ada satu hari yang disakralkan, sebuah hari suci yang dihormati. Kalau para Jewish menyucikan hari Sabath atau Sabtu, maka umat Muslim memiliki hari Jumat. Di hari itu umat Muslim disuruh bersuci dan bebersih diri. Maka ibadah sholat Jumat pun diistimewakan, tak bisa ditawar-tawar bagi umat Muslim, khususnya bagi pria.

Ibadah solat Jumat itu khas. Solat dilaksanakan memakai waktu solat Zuhur, tapi nggak seperti solat Zuhur yang empat rakaat, solat Jumat cuman dua rakaat. Sebagai ganti dua rakaat lagi yaitu khutbah Jumat. Makanya denger khutbah itu wajib, ngomong pas khatib berkhutbah sama aja ngomong pas solat. Dan ngomong waktu lagi solat itu dilarang.

Salah satu ke-khas-an khutbah Jumat bagi gw terdapat pada aturannya. Khutbah dilakukan dua kali setelah azan dan sebelum iqomat berkumandang. Khutbah Jumat itu ga bisa disamain dengan pengajian-pengajian dakwah lainnya. Aturannya jelas, khatib ga boleh mengedepankan emosi en topiknya diupayakan topik standar tentang tauhid. Jadi si khatib ga boleh marah-marah, mengutuk-ngutuk, ngelucu, pokonya yang dapat memacu emosi jamaah lah.

Kalau dihitung-hitung, sejak gw ikut Jumatan, tiap tahun ada 52x Jumat, jadi mungkin ada sekitar 936 Jumat yang telah gw lewati, dikurangi empat-lima kali karna urgensi dalam perjalanan yang ga nemu Mesjid terdekat, sakit tipus, DBD, dll. Insyallah gw ga ikut Jumatan itu bukan karna alasan males, karna gw pernah dapet kualat sekali waktu.

Waktu gw kecil sebelum SD, pernah diajakin Bokap untuk solat Jumat, gw nolak dan lebih milih main-main manjetin pohon jambu yang lagi berbuah lebat. Ga lama setelah itu pegangan gw kelepas, gw jatuh dengan tulang belakang telinga menghantam bagian bertembok di bawah pohon jambu halaman rumah. Gw nangis kejer, sakitnya mak euy. Beruntung cuma memar.

Perkara kualat ini sebenernya ga sekali itu gw alami. Gw juga pernah nolak perintah orang tua waktu nyuruh belajar ngaji ke mesjid. Alasannya di minggu sebelumnya gw udah dapat nilai 8 untuk praktik solat. Gw bolos ngaji dan main-main deket pagar rumah yang ujung tiap tonggaknya itu runcing-runcing. Waktu main itu gw kepeleset, pergelangan lengan kiri bagian dalam gw mengarah ke ujung tiang pagar itu dan menancap dengan sukses. Beruntung lagi nancepnya nggak di bagian nadi.

Dua peristiwa yang bikin gw kapok durhaka untuk hal-hal fundamental seperti itu. Sebuah pelajaran moral bahwa untuk urusan akidah nggak ada tawar menawar.

Angka 900an-kali itu tentu bukan jumlah sedikit untuk sebuah pengalaman berjumat. Tahun 2009 gw Jumatan di Bukittinggi yang bersamaan jadwal dengan agenda Kongres Nasional ISEI ke 18. Karna yang jadi khatib waktu itu Dirut Bank Syariah Mandiri, topik kotbahnya ya ga jauh-jauh dari ekonomi Islam. Pemaparannya bagus, tapi apa entah karna terlalu antusias, si-khatib-yang-dirut-BSM itu ceramah hampir satu jam dan menjadi kotbah Jumat terpanjang bagi gw. Gw jadi berasa lagi ikut kuliah umum.

Tahun 2003 juga jadi Jumatan terpanjang, tapi terpanjang dari jauhnya jarak jalan kaki untuk mencapai mesjid terdekat sekaligus tidur pas kotbah terpanjang, he. Gw jumatan di kawasan danau maninjau, lagi acara homestay perpisahan sekolah sama RombonganSirkus. Mesjid terdekat dengan cottage yang kami tempati itu jaraknya 1.5km. Total bolak balik jadi 3 km. wew…

Karna malemnya kami tidur larut ditambah kecapean akibat jalan jauh ke mesjid, gw en teman-teman langsung tetidur sejak khatib naik mimbar sampe kemudian dibangunin orang waktu udah iqamah. Kebo. Contoh yang salah sodara sodara: tidur di sepanjang pengganti dua rakaat salat!

Ceramah-ceramah Jumat yang gw denger pun macem-macem. Di Masjid depan pasar Batusangkar khatibnya terang-terangan menghujat pemerintah dengan tidak senonoh, di masjid deket simpang asia Padang khatibnya malah menghujat jamaah Jumat sendiri, hahaha. Yang tidur disindir, yang datang telat kena semprot. Tapi alasan kedua khatib itu emosi dapat gw pahami.
gambar
Ada juga gw nemu khatib sontoloyo yang ngelucu pas kotbah. OMG, lha jamaahnya apa karna memang lucu atau segen sama khatib yang udah berusaha ngelucu ikutan ketawa. Heleh heleh.

Yang kajiannya nyeleneh juga ada gw ketemu, di mesjid komplek gw. Topiknya nyangkut tentang pernikahan beda agama. Dengan lantangnya si khatib mengatakan dia lebih rela anaknya kawin sama a#$*ng daripada anaknya kawin dengan orang yang berbeda agama. Kontroversial. Jamaah yang tertidur terbangun seketika. Gw terang ga setuju dengan khatib, kalaupun beda agama namun kalau hidayah datang kan itu mantunya bisa berubah jadi muslim juga, tapi kalo sama a%&*ng apa dikemudian hari bisa berubah jadi orang? Ajaran gendeng.

Kalo katib yang ilmunya mumpuni aja kadang terjebak blunder, gw sebagai jemaah apalagi. Pakaian ga rapi, telat datang ke mesjid, tertidur pas kutbah, terkadang malah kombinasi dari kekeliruan-kekeliruan itu, udah baju ga rapi, datang terlambat, masih sempet juga ketiduran. Astaghfirullah.

Namun perangai gw sebagai jamaah paling keterlaluan terjadi awal semester lalu. Iseng sejadi-jadinya, merasa berdosa seumur-umur. Gw balik dari kampus dan mampir Jumatan di mesjid pinggir jalan. Mesjidnya mulai ramai, gw dapet duduk di barisan belakang deket pintu masuk dengan posisi berhadap-hadapan frontal dengan khatib. Kalau diliat dari mimbar tempat gw duduk itu ‘mudah dijangkau’.

Setelah 15 menitan khatib berkutbah, angin kantuk berhembus. Gw yang duduk bersila mulai menggunakan tangan kiri untuk menopang dagu. Sambil berusaha bertahan supaya nggak tertidur gw iseng ngetuk-ngetukin jari telunjuk kanan ke arloji di pergelangan tangan kiri gw.

Dan pas saat melakukan aksi itulah tatapan khatib mengarah ke gw. Gw kira biasa aja. Tapi selang beberapa detik setelah memergoki tindakan gw yang mengetuk-ngetuk arloji macam Jose Mourinho yang berusaha mengingatkan wasit bahwa waktu telah habis ketika Real Madrid unggul satu gol atas lawannya di masa injury time itu, khatib langsung menutup pengajiannya, “itulah tadi 3 dari 5 sifat istimewa dan kejelekan manusia menurut AlQuran, 2 sifat lainnya Insyaallah kita sambung di lain kesempatan.”

Khatib tentu telah mengira aksi tak santun yang gw lakukan itu sebagai wujud kudeta, bahwa beliau merasa telah banyak mengkorupsi durasi kotbah. Khatib yang baik hati dan pengertian itu dengan rela menyudahi dakwahnya demi seorang jamaah tak tau diri yang tak bisa membedakan mana mesjid mana kamar tidur.

Kalau gw mencatat ini sebagai suatu pengalaman berjumat yang dikenang, mungkin sang khatib juga memberi catatan khusus pula pada karir mimbarnya. Pada satu-satunya lembaran hitam, seorang jamaah dengan nekat mengganggu kekhidmatan dan memotong pengajiannya. Ya, setiap (pria) muslim jelas memiliki pengalaman berjumat masing-masing. How about you?