Sebagai muslim yang meyakini iman yang enam, kami –saya, ibu, dan kakak-, bisa menerima kepergian almarhum ayah dengan ikhlas, dengan sabar. Insyaallah.

Tapi untuk urusan perasaan, yang namanya kenangan ya susah lupa.

Hari terakhir bersama ayah, sabtu 12 April 2014, masih terkenang jelas tiap hari sampai hari ini. Pagi, saya membantu-bantu ayah yang terkena stroke di sebelah kanan anggota tubuhnya sejak akhir 2011. Awalnya seperti wiken saya pada umumnya, pergi kemana suka menemani beliau jalan-jalan. Tapi berhubung ada kawinan besan keluarga di Padang Panjang, saya meniatkan jalan-jalan sepulang itu.

Zuhur, saya berangkat ke Padang Panjang dan kembali di rumah pas azan magrib.

“Ayah demam.” Kakak memberi kabar ketika saya sampai di rumah.

Saya pikir demam seperti biasa seperti demam pada umumnya, memang akan meniadakan nafsu untuk makan, cukup dibawa istirahat dan nutrisi untuk sembuh. Makanya ketika ayah diajak periksa ke dokter dan beliau menolak, kami tidak paksa.

Maka juga saya menyempatkan tidur sehabis magrib itu.

Malam jam setengah 10-an, saya bangun. Kakak sempet nyuapi makan ke ayah, cuma sesendok, paling nggak, mau juga minum susu meskipun juga sedikit. Sambil itu saya juga ke ibu, cerita tentang kawinan yang saya datangi sore.

Kakak temani ayah di kamar, baca-baca, saya ruang tengah, setelah temani ibu, saya makan, ngemil, sambil juga nonton bola yang saya ingat pertandingan itu bagus dan dramatis, Tottenham Hostpurs yang mampu mengimbangi West Bromwich di menit akhir menjadi 3-3 setelah tertinggal 1-3.

Pertandingan berakhir menjelang jam 11, dan saat itu juga akan dimulai pertandingan FA cup antara tim jagoan saya Arsenal yang akan mengahadapi Wigan Athletic. Pada jam 11 itu juga saya ingat jelas kakak teriak manggil saya.

Langsung saya lari ke kamar, saya lihat ayah rebah dekat pintu kamar mandi, tidak sadar, tapi nafasnya sesak. Hal ini, pernah juga terjadi sebelumnya di bulan Januari lalu, ayah mengalami hal serupa pada dinihari, dan ketika dibawa ke RS setelahnya diketahui beliau anemia dan memerlukan transfusi 3 kantong darah.

Tubuh ayah langsung saya angkat ke kasur yang berjarak sekitar lima langkah dari pintu kamar mandi tsb. dibantu kakak. Di pembaringan, ayah beberapa kali menarik dan menghembuskan nafas sesak dalam kondisi tidak sadar, persis juga seperti bulan Januari lalu. Kemudian mulai nafasnya melambat. Seperti Januari lalu.

Sedari pembaringan, kami iringi dengan tahlil. Seperti Januari lalu. Saya juga kemudian ke garasi buka pintu dan nyalain mobil untuk bawa ayah ke RS. Seperti Januari lalu. Kakak ambilin minuman hangat. Seperti Januari lalu. Ibu tetap damping ayah, seperti Januari lalu.

Ketika saya dan kakak kembali ke kamar, ayah sudah tenang. Juga seperti Januari lalu. Kecuali kali ini ayah terlalu tenang. Tidak sama dengan Januari lalu. Saya ambil dan pasangkan oksigen. Kakak ambil dan coba mengukur nadi dengan alat ukur tensi manual. Tidak sama seperti Januari lalu. Tidak ada detak.

Sudah pukul 11.15 malam kira-kira. Kakak coba keluar panggil tetangga dan bidan dekat rumah (karena disekitar rumah tidak ada dokter/perawat). Bu bidan periksa, sama tidak ada detak. Mungkinpun ada, tapi satu-satu dan sangat halus, sehingga dia sendiri tidak yakin dengan itu.

Kami pertimbangkan untuk dibawa ke RS untuk lebih mendapatkan keyakinan. Tapi bidan menyarankan, membawa ke RS kemungkinan juga akan mendapat jawaban yang sama, dan pengurusan selanjutnya untuk surat-surat akan lebih banyak.

Akhirnya dengan ikhlas kami terima takdir. Family, tetangga, dan kerabat kami beri kabar.

Pukul 03.30 ambulan datang, kami langsung menuju ke Sungayang, kampung ibu. Paginya jam 9-10an, kaum niniak mamak dari kampung ayah datang, dalam adat Minang, kalau saya bahasakan, kedatangan mereka bermaksud menjemput jenazah ayah untuk kembali ke kampung tempat ayah lahir dan besar, di Minangkabau (memang itu namanya, daerah asli asalmuasal Minangkabau, Insyaallah lain waktu saya cerita tentang ini). Apalagi mengingat status ayah yang memiliki gelar penghulu sebagai datuk, di mana dalam adat Minang, penghulu itu jika wafat mesti ‘baliak ka pangka’, kembali ke asal, dikebumikan di pandam pekuburan kaumnya, kampung halaman jenazah.

Hasil perundingan kaum ayah dan kaum kami, jenazah ayah akan dikebumikan di pandam pekuburannya yang terletak di sebelah rumah ibu beliau. Tapi untuk prosesi lainnya tetap dilaksanakan di Sungayang.


Alhamdulillah prosesi pemakaman kemudian berjalan lancar, sehingga ba’da zuhur ayah telah berada di tempat peristirahatannya yang terakhir. Insyaallah telah tenang beliau. Telah lebih dekat ke Penciptanya. Mudah-mudahan diterima segala amal ibadahnya, mudah-mudahan diampuni dosa-dosanya. Mohon doa dari Tuan dan Nyonya, dan mohon maafkan kesalahan almarhum.  


Tanggal Penting

Tanggal penting. Hari ini pertama telat.
Anehnya dulu-dulu sejak SMA sampai kuliah, telat itu seperti obsesi.
Kalau bisa telat, ngapain ontime.
Kemudian, sekilas saya ingat  sekarang, pada pembahasan beberapa tahun silam, guru saya cerita, menurut pemahaman pribadinya, “Orang tua itu rif, tau kapan waktunya anak-anaknya siap untuk ditinggalkan...” 
Kan akhirnya saya ikut nyoblos juga untuk pileg tgl 9 kemarin. Lho kok plin-plan rif, katanya mau golput? Yee, emang caleg aja yang boleh plin-plan. Tapi nggak plin-plan kok, saya memang niatan golput, sampe kemudian Ibu saya marah karena sudah jam 10 belum ada tanda-tanda saya akan nyoblos. Kalau Ibu jadi amuk marah karna saya ga boleh golput, artinya saya ga boleh golput. Nyobloslah saya.   

Nyampe di TPS, bah, banyak nian calonnya yang entah siapa-siapa, di bilik suara pusing sendiri jadinya. Ya Allah, belum kepilih aja mereka sudah bikin pusing, bagaimana kalau sudah jadi?

Tapi kalau kau golput, nanti tak ada hak kau untuk protes ke pemerintahan nanti rif! Bah, saya bilangin sini, adapun hak protes, apa protes mu sampai ke mereka punya telinga? Disuruh jangan tidur, lelap mereka di sidang, dibilang jangan jalan-jalan mulu ke luar negri, dibawanya juga anak bini pergi. Biarlah dari sekarang protesnya dengan berupa golput daripada nanti, juga sama tiada berarti.

Tapi kalau kau golput, kau berarti membiarkan politisi busuk menguasai pemerintahan, paling nggak pilihlah yang paling minim dosanya. Aduh duh duh, masih belu tau jugaaa? Sini saya kasih tau lagi, di pemerintahan ini adalah lahan terkutuk, bagaimanapun macam setak berdosa orang, langsung jadi tengik setelah cebur kedalamnya. Yang salah itu bukan ikan-ikannya, tapi wadahnya. 

Situasinya akan sama, ini hanya peralihan dari segelintir tengik ke segelintir orang yang akan tengik dan belum beroleh kesempatan sebelumnya.

Tak bisakah kita diberi pemilihan umum untuk menentukan wadah daripada menentukan ikan yang akan hidup di dalamnya?

Demokrasi macam apa juga yang kemudian memiliki ketetapan suara terbanyak yang menang. Ini kayak misalnya di hutan, mau milih raja hutan. Kalau otoriternya kan langsung serta merta singa tunjuk diri dan menindas yang lain supaya mengakuinya dengan paksa bahwa dialah raja.

Dengan demokrasi macam ini, ibarat mau milih raja tadi, hewan lain dibolehkan juga jadi calon, tapi harus tarung dengan singa, sama aja boong.

Mestinya, demokrasi ini, ini lho si kera juga puny idea untuk menjaga ketentraman hutan, ya kasih si kera kesempatan. Bukan dengan disuruh tarung dengan yang mayoritas.   

Atau ya kayak tadi, anggap lah memang singa yang punya kans terbesar untuk mengurusi hutan, tapi tak bisakah yang lain bisa menentukan dengan metode apa mengurusnya? 

Tukang Jawa

Bagaimanapun tulisan ini saya yakini adalah sebuah tema baru dalam khazanah linguistik, kultur, antropologi, atau apalah. Berdasarkan penelusuran mendalam dari pengalaman dan pengetahuan pribadi yang minim. Huehee..

Tercetus waktu lagi nyetir berangkat kantor beberapahari lalu, saya ngiringi mobil pikap di depan, ada tulisan di kacanya, “sedia jasa Tukang Jawa”. Hmmm… Tukang Jawa.

Kenapa kemudian orang ini menjual jasanya dengan brand bernuansa rasis begitu. Tuan boleh bingung, tapi kami yang di Sumatera Barat, kami yang orang Minangkabau, rasanya tidak. Pemuatan kata jawa bukan dalam hal peremehan, tapi justru sanjungan nilai, seperti kalau di tim sepakbola, pemain lokal dan pemain asing memiliki status yang berbeda, ngetopan yang asing kan?

Sebelumnya, perlulah Tuan Nyonya ketahui, bagaimana para tukang ini mayoritas, mayoritas ya, bagaimana tukang di Minangkabau punya tindak, bagaimana rupa tukang Minang punya kerja. Ini sudah menjadi bahan celaan umum.

Setiap menceritakan tukang asli Minang, orang-orang akan memiliki versi cerita yang serupa, “Kalau orang kita ini bertukang, datangnya kadang sudah jam 9 atau jam 10 pagi, itupun tak langsung kerja. Merokoklah mereka dulu, mengopi dan ngobrol lah mereka sejenak. Baru mulai kerja. Menjelang zuhur sudah pasti mereka akan langsung istirahat, makan, tidur-tiduran, solat bagi yang iya. Istirahat lagi.

“Kerjaan akan mereka lanjutkan sekira pukul 2. Setelah ashar, langsunglah mereka berberes perkakas, pamit pulang. Begitulah setiap hari sampai kerjaan membangun selesai, sampai habis Tuan punya tabungan, sampai dongkol Tuan punya kesabaran.”

Awal tahun 2000-an, pembangunan konstruksi, infrastruktur, atau perumahan, secara sedikitsekali, mulai dikerjakan oleh tukang yang migrasi dari Jawa. Entah mereka dapat link darimana, entah diajak juga oleh pimpro mereka di sana, untuk kerja di tempat kami, di Sumatera Barat.

Mulailah dari sana masyarakat bisa punya lihat. Saudara-saudara yang berprofesi sebagai tukang dari Jawa ini kerjanya macam apa. Jam 7 paling lambat jam 8, sudah datang dan langsung kerja. Istirahat ngerokok atau ngopinya nanti itu jam 9 atau jam 10. Semacam coffebreak lah. Trus kerja lagi sampai istirahat siang. Lanjut kerja lagi, tapi pas habis ashar, mereka tidak berberes perkakas seperti tukang lokal, mereka lanjut lagi sampai menjelang magrib, atau kalau ada yang sedikit nanggung, dituntaskan semalamnya hari.

Dari etos kerja semacam ini maka sekarang muncul istilah yang saya sebut di atas, “Tukang Jawa”. Istilah itu mengunsuri nilai jual lebih di dalamnya. Semacam jaminan kualitas pekerjaan juga. Bahwa kalau tukangnya dari Jawa, maka pekerjaan akan lebih bagus, lebih cepat selesai pula. Tenang Tuan punya perasaan.

Walaupun sekarang, belakangan, karena tau bahwa Tukang Jawa ini memiliki nilai jual yang tinggi, banyak juga pihak-pihak yang memanfaatkan momen. Dibilangnyalah kepada pemberi kerja bahwa tukangnya itu Tukang Jawa, dengan modal peyakin bahwa memang para tukangnya itu kalau ngomong medok, njowo. Entah apa itu memang tukang yang sudah pengalaman atau belum, sehingga pemberi kerja yakin.

Karena bodong, kemudian etos kerjanya tak ubah dengan tukang Minang yang dikeluhkan sebelumnya, sehingga companglah sedikit citra Tukang Jawa yang dibangun oleh pekerja-pekerja pendahulu yang memiliki citra kerja yang bagus. Biar begitu, tetaplah sampai sekarang, di Sumatera Barat, istilah Tukang Jawa itu merujuk kepada hasil kerja yang professional, yang memiliki nilai jual tinggi.