Sindrom Pasca-Lengser

Hari minggu 17 Oktober lalu gw ikutan outing bareng Pojok BEI Unand di kawasan Lubuk Minturun Padang. Acaranya diadain dalam rangka pisah sambut direksi lama yang dipimpin Early ‘Susno’ dan direksi baru Pojok BEI Unand dengan Riyant sebagai Dirut. Pelantikan resminya akan diadakan selanjutnya dengan pihak pembina dari Dekanat Fakultas Ekonomi Unand.

Dengan pisah sambut itu maka resmi udah gw lepas amanah sebagai direktur divisi Litbang yang udah gw jabat setahun lebih beberapa bulan. Divisi litbang secara umum bisa dibilang bertanggungjawab terhadap edukasi pasar modal di lingkungan Pojok BEI Unand. Internal maupun eksternal.

Jumlah investor domestik di bursa Indonesia ga sampe 10% dari total investor di Indonesia, dari jumlah itupun masih terkonsentrasi di kota-kota besar. Mengedukasikan sesuatu hal yang masih asing di Sumbar khususnya di kalangan mahasiswa yang majornya non-keuangan adalah job yang ga gampang memang.

Hasil data survey tim gw yang disebarin melalui kuisioner pun menunjukkan banyak yang buta tentang pasar modal. Tapi temen-temen responden ternyata antusias untuk mempelajari lebih lanjut instrumen-instrumen investasi di pasar modal.

Dari beberapa rancangan program di awal periode kepengurusan dulu, gw akuin banyak yang ga jalan dan mengalami kegagalan di tengah proses, terlepas dari tragedi bencana gempa yang berdampak ke sekretariat. Tapi beberapa program yang berhasil dijalankan gw kira cukup worth it, bahkan ada kegiatan yang awalnya ga terdaftar di program malah sukses diadakan.

Gw minta maaf kepada Pojok BEI Unand dan seluruh rekan-rekan pengurus periode 2009-2010 kalo banyak kesalahan selama menjabat sebagai dirdiv dan kurang memuaskan dalam berkinerja. Gw harap Pojokers selanjutnya yang meneruskan kepengurusan bisa lebih sukses apalagi dengan akan disetujuinya program 3in1 yang kita cita-citain sebelumnya. Im glad to be a part of Pojok BEI Unand.
Kelu darah
Bercecer menyisakan pati-pati yang menggumpal
Sadarlah bahwa mawar merah yang merekah itu berduri tajam…

Sayyidina Ali yang Fair

Rasulullah pernah mengatakan bahwa hukum berlaku untuk semua orang, bahkan jika putrinya sendiri Fatimah kedapatan mencuri, niscaya beliau akan memotong tangannya. Kekayaan, kedudukan, ataupun kekeluargaan tidak dapat digunakan untuk menyembunyikan hak.

Pada suatu peristiwa, Amirulmukminin (jabatan kepala negara waktu itu) Ali bin Abi Thalib r.a. menemukan kembali baju besinya yang hilang di tangan seorang Yahudi. Namun orang Yahudi itu bersikeras bahwa baju besi itu adalah miliknya dan tidak mau mengembalikannya kepada Amirulmukminin. Akhirnya kasus ini dibawa ke pengadilan.

Hakim bertanya kepada sayidina Ali, “Wahai Amirulmukminin, apa yang Tuan kehendaki?” Sayidina Ali menjawab, “Baju besi ini jatuh dari untaku, kemudian diambil oleh orang Yahudi ini!” Jawaban Ali r.a. langsung disambar yahudi, “Tidak benar! Ini adalah baju besiku!”

Melihat keadaan ini hakim bertanya kepada Ali, “Apakah Tuan memiliki sedikitnya dua orang saksi yang menyaksikan kejadian itu?” Maka Amirulmukminin mengajukan dua orang saksi, yaitu pembantunya yang bernama Qanbar dan putranya sendiri yang bernama Hasan yang merupakan cucu Rasulullah.

Hakim menerima kesaksian Qanbar, tetapi ia tak mau menerima kesaksian Hasan, “Kesaksian Qanbar kami benarkan, tetapi kesaksian Hasan tidak dapat kami terima karena ia adalah putra Tuan!”

Mendengar keputusan ini Ali lantas berkata, “Tidakkah Tuan hakim dengar bahwa Umar r.a. pernah berkata bahwa Rasulullah telah bersabda bahwa Hasan dan Husain adalah pemimpin surga? Tidakkah dapat diterima kesaksian seorang pemimpin surga?”

Dengan takzim hakim berkata, ”Yang Tuan katakan itu memang benar. Tetapi hukum tidak mengenal hal itu.”

Akhirnya hakim memutuskan bahwa Amirulmukminin kalah di persidangan dan menyatakan bahwa baju besi tersebut adalah kepunyaan orang Yahudi tadi.

Mendengar keputusan hakim yang jelas-jelas adalah bawahannya, Ali tidak marah. Dengan tersenyum beliau berkata, “Sungguh benar engkau hakim, saya tidak mempunyai pembuktian lain. Saya terima putusan ini.”

Orang Yahudi itu melihat ini semua dengan perasaan takjub! Bagaimana mungkin seorang penguasa negara tunduk pada putusan bawahannya! Maka akhirnya ia pun mengaku, “Sebenarnya baju besi ini benar-benar kepunyaan Amirulmukminin. Aku memungutnya waktu terjatuh dari unta tatkala Amirulmukminin hendak pergi ke Siffin…” Selanjutnya orang Yahudi itu pun berkata, “Asyhadu allaa ilaaha illallah, wa asyhadu anna Muhammadarrasuulullaah”.

Mendengar hal ini lalu Ali dengan spontan berkata, “Kalau beitu, baju besi ini kuhadiahkan kepadamu!”

Janganlah kamu merugikan manusia terhadap hak-hak mereka. (Hud (11):5)

Demo Mahasiswa


Rencana kunjungan Pak Beye ke Makassar kemaren yang berdekatan dengan setahun masa jabatannya diwarnai bentrokan mahasiswa di sana dengan aparat. Pertanyaannya, siapa pejabat pusat yang ga didemo pas mau datang ke Makassar? Kenyataannya, kapan aksi demo mahasiswa di Makassar yang ga berakhir dengan bentrok?

Setau gw, beberapa kampus negri di Indonesia didirikan di lokasi yang cukup jauh dari pusat kota, kek almamater gw Universitas Andalas Padang yang lokasinya di Limau Manih, Universitas Indonesia di depok, gitu juga kek Unpad,.

Penempatan lokasi kampus yang jauh ini selain bermotif ekonomi (harga tanah di pinggiran kota yang murah serta bisa menjadi penggerak ekonomi di sekitar kampus tersebut), juga motif studi (mahasiswa bisa lebih fokus belajar), dan tentu saja motif politik yang menginginkan mahasiswa jauh dari masyarakat dan pusat pemerintahan agar ga gampang menggelar demo.

Tapi hal tersebut ga berlaku untuk universitas swasta, dan ga berpengaruh buat perguruan tinggi kedinasan (soalnya yang biayain sekolahnya pemerintah, masak iya mau mendemo pemberi dana kuliah sendiri? Hehe. Lagian mereka juga akan menjadi bagian pemerintah itu sendiri nantinya.)

Buktinya memang, ketika UI masih berkampus di Salemba dulu, mahasiswanya aktif dalam mengorganisir penggulingan Soekarno, sedangkan ketika kudeta Soeharto, yang jadi lakon adalah mahasiswa-mahasiswa Trisakti yang kampusnya nyebar di pusat-pusat kota Jakarta.

Di Padang mah gw liat sama aja, ketika temen-temen mahasiswa Universitas Negri Padang bolos kuliah, tereak-tereak, long march panas-panas yang bikin kulit keling dari kampusnya ke gedung DPRD Sumbar yang jaraknya ga sampe sekilo, mahasiswa Unand anteng duduk di kelas ikutin kuliah, ketawa-ketawa sambil minum di kafe nungguin jadwal kuliah berikutnya.

Balik lagi ke Makassar. Mantan wapres Jusuf Kalla pernah berucap di media, kalo dari seluruh kunjungannya ke daerah-daerah, yang paling beliau takutin yaitu justru kunjungan ke kampung asalnya sendiri. Karena memang kalo temen-temen menyimak berita-berita yang terkait demo-demo mahasiswa, maka demo mahasiswa Makassar pasti selalu diliput. Dan dari liputannya itu pasti beritanya ada unsur-unsur bentroknya.

Seorang staf HRD yang bekerja di salah satu perusahaan di Jakarta pernah cerita ke gw kalo perusahaannya ga mau menerima lulusan mahasiswa yang berkuliah di Makassar mengingat track record beberapa kampusnya yang sering terlibat aksi anarkis. Yang ekstremnya katanya malah ada perusahaan yang menolak semua mahasiswa yang pernah aktif berorganisasi di BEM kampus darimanapun mereka berasal. Alasannya aktivis BEM itu lekat dengan gambaran vokal, idealis, dan protes. Ditakutin hal-hal tersebut bisa menjadi bumerang bagi perusahaan tempatnya bekerja.

Bahwa kinerja pemerintah kita jauh dari memuaskan memang benar adanya. Bahwa mahasiswa sebagai elemen masyarakat yang intelek dan bertanggungjawab untuk menuntut perubahan yang lebih baik itu pasti. Tapi menuntut perubahan dimana tiap demo tiap mengakibatin kerusuhan (pun dengan dalih disusupi provokator ataupun aparat yang memulai) keknya perlu dipikir-pikir lagi. Apalagi kalo itu bisa bikin buruk citra daerah sendiri dan juga meninjau langkah jangka panjang kita di masa depan.


sumber foto

Demi Pancasil Jaya

Hingga sebelum era Orde Baru tumbang, gw paling males di tiap tahunnya, malam tanggal 30 September, semua stasiun tivi, tanpa kecuali, muter film membosankan tentang G30S/PKI. En durasi filmnya itu MasyaAllah,. amit-amit panjangnya. Gw anteng duduk depan tipi dari jam 9 malam, berharap filmnya segera habis. Karna capek nungguin gw ketiduran, jam 1 kebangun eh filmnya masi itu aja. Kecewa. Kampret.

Untungnya sejak reformasi, kita udah nggak lagi dicekoki dengan film yang menceritain apa yang disebut oleh ‘Eyang Pembangunan’ kita dulu itu sebagai pemberontakan ekstrem kiri (ekstrem kanannya Islam radikal). Eyang sama-sama alergi terhadap dua ekstrem tersebut, en menurutnya, gerakan-gerakan ekstrem daripada yang berniat mengubah daripada ideologi Pancasila seperti itu wajib DIMUSNAH-KEN. Hehe.

Andrea Hirata melalui Edensor dengan halus menyisipkan sedikit kisah getir seorang korban yang dianggap oleh pemerintah sebagai pesakitan dalam mosaik ‘Janda-Janda Kecoa’. Jika Andrea hanya menjadikan isu itu sebagai sisipan sebuah chapter, Ahmad Tohari, puluhan tahun lalu, dalam triloginya ‘Ronggeng Dukuh Paruk’ malah menjadikan isu itu menjadi pokok cerita yang mengubah total kisah percintaan Srintil dan Rasus dengan ending yang antiklimaks. Akibatnya trilogi tersebut disensor pemerintah lebih dari 22 tahun lamanya. Nasib sama juga terjadi dengan novel Ahmad Tohari lainnya kek ‘Kubah’.

Pengalaman terdekat gw sendiri dengan hal bersinggungan dengan komunis terjadi pada akhir 2006 lalu. Gw inget pas lagi lewat di depan kedai aksesori di bilangan Blok M ketika seorang penjualnya nawarin dagangannya ke gw, “Ayo mampir dek, mau nyari apa? Ada gelang, cincin, kalung,.macem-macem..”
“Nggak bang, gw ga make asesoris.”
“Diliat dulu aja dek, modelnya ada banyak nih, baru-baru semua.”
Akhirnya gw mampir juga, tapi nggak bakalan beli karna emang gw ga suka make asesoris. “Bang, model-model mata kalungnya ini semua?” Tanya gw. Perasaan modelnya biasa-biasa aja, ga ada istimewanya. Atau mungkin emang gw yang ga tau mode keknya.

“Iya,. Tapi itu model baru kok,” setengah berbisik abang jual kalungnya lanjutin, “Sebenernya ada satu lagi yang nggak di pajang, modelnya palu arit, kaosnya juga ada. Mau kagak?”
“Astajim.. kaga de bang,.. udah gw liat-liat aja”.

Sepanjang perjalanan setelahnya, gw masi shock en kepikiran, sepertinya bibit-bibit kemunculan komunisme telah tumbuh lagi.

Kalo ngeliat pengharusan pemutaran film kekejian PKI, pendiktean isi buku-buku sejarah, sensorisasi karya-karya seni waktu itu, dan sebuah marketing asesoris yang hening kek yg gw alami setelah keruntuhannya sejak 45 tahun lalu, kita akan melihat bahwa seperti ada upaya pembelokan persepsi dan pengingkaran terhadap fakta historis. Terkesan ada sesuatu yang ditutup-tutupi.

Memang Soekarno kebablasan dengan aliansi Nasakom-nya yang membuat Bung Hatta mundur sebagai wapres, patriotisme Tan Malaka (yang sering disebut Che Guavara-nya Indonesia) yang mengusung Madilog pun memang kurang sesuai dengan Indonesia yg berpondasi Pancasila. Tapi peristiwa pembunuhan tujuh jendral, pembumihangusan desa-desa beserta penduduknya, pengucilan dan penyiksaan mental tanpa pandang bulu, serta keraguan daripada sebagian masyarakat terhadap keaslian daripada Supersemar seharusnya segera DILURUS-KEN.

Dengan begitu, generasi jaman sekarang ga bingung lagi dengan kenyataan sejarah bangsanya sendiri. Karena jika sejarah bisa disampaikan dengan sebenar-benarnya, tentu generasi sekarang bisa menyadari sendiri bahwa PKI itu telah serong kepada ajaran asing, bukan kepada nilai-nilai luhur Indonesia. Sehingga sejarah militan berdarah tersebut bisa dimengerti. Sehingga Piagam Jakarta yang melahirkan Pancasila tak menjadi sia-sia.

Kenapa ketika kita menunjuk orang, jari-jari kita lainnya menunjuk ke arah kita sendiri?
Itu untuk mengingatkan kita supaya lebih dulu menilai kekurangan-kekurangan diri sebelum menyalahkan orang lain...