Pendidikan Bela Negara untuk Para Dokter Muda

Hari apa sih waktu itu? Ituuu… waktu saya ada baca koran ketika istirahat kantor. Beritanya tentang lowongan CPNS dokter. Yang jadi sensasinya sih bukan itu, tapi tentang formasinya yang tersedia untuk 3.000 dokter. Tapi bukan itu juga sensasi beritanya, tapi bahwa khusus CPNS untuk 3.000 dokter itu diadakan tanpa tes… iya, TANPA TES! Tapi juga bukan itu sensasinya, tapi bahwa untuk lowongan CPNS dokter yang TANPA TES itu, yang ikut mendaftar hanya 10% … iya, TAK LEBIH SEPULUH PERSEN!

Eh, setelah dicari ada link beritanya juga disini dan disini.

Kalau beritanya ditelusuri, lowongan CPNS dokter sebanyak itu untuk ditempatkan di daerah-daerah tertinggal. Terpencil. Kesimpulan yang bisa ditarik, lowongan tersebut sepi peminat dokter karena hanya akan dijadikan dokter di daerah terpencil. Dan jika disimpulkan lebih mendalam lagi, dokter-dokter muda yang ada sekarang ini, tak lain adalah calon-calon materialis di masa mendatang.

Tahun berapa itu, ada juga saya baca berita bahwa Indonesia kekurangan dokter sekian ribu orang. Dengan kondisi yang ada, meskipun sekarang ada ribuan dokter-dokter muda dan calon-calon dokter ini, masalah tersebut tak akan terpecahkan jika mayoritas telah menjadi materialis.

Uang kuliah yang mahal, fasilitas yang terbiasa lengkap, biaya pergaulan, dan gaya hidup calon-calon dokter telah melunturkan nilai-nilai luhur pengabdian seorang penyembuh. Paling seberapa persen sih yang nolak karena alasan urgensi lain.

Tapi memang khusus untuk yang menolak karena alasan materi dan gengsi ini lho. “Ah kau ini rif, ngomong saja, kalau kau jadi dokter juga tak mau kaun kan ditempatkan di wilayah pedalaman seperti itu?”  Iya memang saya gak akan mau juga. Tapi masalahnya kan kalian yang telah memilih jalan hidup sebagai dokter. Paham konsekuensi dong, bahwa itu permintaan badanmu sendiri, gak ada yang maksa.

Justru kalau kau memang benar-benar memiliki cita-cita luhur untuk mengabdi sebagai dokter, panggilan ke daerah itu bukanlah suatu masalah. 

Sebaiknya, menurut saya, ini saran saya nih buat pimpinan IDI, semua calon dokter, selain persyaratan praktik dan akademis, semua mereka itu juga sebaiknya diwajibkan untuk lulus pendidikan bela negara melalui sekolah-sekolah TNI. Biar tak manja. Biar mereka tau apa itu pengabdian. Biar tak cuma melulu materi untuk balik modal biaya semasa kuliah saja. Biar tak berbulu mereka punya jantung.
Januari 2013, itu adalah tahun lalu, kalau Tuan sudah lupa. Saya punya sebuah harapan-kalau tidak bisa disebut resolusi- yang saya tulis begini. Bulan Novembernya, harapan tahun itu batal karena bulan November Ibu saya harus dirawat untuk transfusi darah karena hb beliau turun. Desember kembali lagi dirawat untuk operasi angkat batu empedu. 

2014 ini belum sempat kembali saya mau ungkapin harapan yang sama, tapi sudah keduluan ayah yang masuk rs tadi malam, badannya pucat udah seminggu, anemia kata dokter jaga. 

Alhamdulillah tetap kami berprasangka positif kepada Allah, dan tak menduga ada hal-hal lain selain perkara medis terkait apa yang terjadi sejak 2008 itu. 
Terasa kemudian, kenapa bisa kerja yang dikatakan sebagai ibadah tapi bisa menyebabkan lalai ibadah utama.

Bagaimana bisa kemudian kerja yang katanya untuk cari makan tapi malah jadi tak sempat makan.
Ada benarnya waktu seseorang mengatakan, -yang bebanyakan kaum liberal- "Masih banyak saja orang yang udik saat ini yang menganggap agamanya lebih superior dibanding agama lainnya." 

Eh, tapi tidak benar bagi saya, maka saya tidak perlu merasa tersinggung kan? Karena bagaimana mungkin saya menganggap agama saya ini lebih superior dibandingkan agama lain, karena saya bahkan tidak menganggap adanya eksistensi agama lain selain agama saya. 

Hahaa... lebih udik lagi ya saya ternyata. 

Damai lah Tuan. Becanda.