Kompre

Begitulah, jadi kalian paham kan tentang kronologis kelulusan saya? Baiklah kalau belum, karna saya kan, belum cerita. Karna meski tetap saya rasa biasa saja, itu kronologisnya terasa perlu saya komentari. 

Karna, dalam pandangan dan pengalaman keluarga saya, yang namanya kompre ya tinggal sidang formalitas saja. Dan saya bilang, hanya sebuah momen haha-hihi keakraban dosen dan mahasiswa yang tidak diperoleh di kelas. 

Ternyata tidak demikian saudara-saudara. Keluarga dan family saya salah duga. Teman-teman terheran-heran. Ini saya kuliah di tempat yang tidak biasa dalam memprosedurkan persyaratan kelulusan. Karena apa, karna katanya AKREDITASI YANG A!  Ehm. Walaupun kampus lain juga sama akreditasi A. Ehm.  Tapi nggak kompre-kompre segala. Ehm.

Dan ketidaklulusan saya pada kompre pertama itu berhasil bikin saya stres pada kompre berikutnya, sehingga demam tinggi . Ingatan saya juga jadi kembali melayang pada saat beberapa minggu sebelum UAN dan beberapa minggu sebelum SPMB saat SMA dulu. Demam berdarah dan tipes masing-masingnya. 

Alhamdulillah saya bisa beroleh dosen yang sekaligus pembimbing skripsi saya. Yang baik juga. Yang pengertian juga. Yang akhirnya meluluskan saya juga. 

Kawan, ini sepengetahuan kita saja. Kondisi demam dan pressure kompre mencetuskan sebuah ide dasar Machiavelli. Voila, teraplikasi dengan sebuah sikap pasif oportunis.

Namun bagaimana juga, sebagaimana kawan-kawan tau. Saya nggak pernah serta merta nolak sistem kompre demikian. Yang saya tolak adalah prinsip-prinsip kekakuan di dalamnya. 

Sama lah itu dengan kawan-kawan menolak UAN, yang ditolak kan bukan pelaksanaan UAN-nya, karna kita tau UAN itu niatnya positif. Tapi kan yang ditolak adalah bahwa UAN itu dijadikan parameter final kelulusan siswa sekolah.

Nah, sama sih dengan, saya sih dukung kompre gitu juga. Tapi nggak seneng saya dengan dosen-dosen konservatif yang terlalu kaku dalam menerapkan standar kelulusan kompre. 

Jadi prihatin dengan temen saya. Contoh ketika dia ditanya sepuluh standar audit. Bisa ngasih penjelasan detail untuk delapan diantaranya, eh si dosen malah dengan semangat mencerca dua poin yang ga didapat. Hargain delapan poinnya itu dong. 

Ya, memang ada beberapa dosen yang masih berpikiran ortodoks seperti itu. Terikat dengan textbook.  Kalau begitu apa yang membedakan siswa dengan mahasiswa? Ah, apa dosen seperti itu memang ada untuk menyiksa? 

Bayangkan, karna pola pandang seperti itu ada saja mahasiswa yang jadi menunda cita-cita. Ada saja para orang tua yang patah hati karna kecewa. 

Untunglah saya bukan sekuler, jadinya saya yakin ada campur tangan Allah di dalamnya. Campur tangan yang saya yakin dikemudian hari kita akan bilang: Ya, Allah memang Maha Adil dan Maha Mengetahui. 

Maka biarlah, yang ortodoks itu berjalan dengan caranya selama bertujuan baik. Dan saya biar juga berontak selama sama InsyaAllah juga bertujuan baik. 

Jadi inget sama ilmu dari Pidi Baiq, bahwa hidup ini hanya senda gurau, bahkan Al-Quran yang menyatakan demikian. Pendidikan formal lah yang menjadikannya serius. Haha.







Tidak ada komentar: